Sampurasun,

Rumangsa Handarbeni, Melu Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa Wani

Minggu, 24 Oktober 2010

Majas atau Gaya Bahasa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gaya bahasa atau majas adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis. Dengan kata lain, gaya bahasa atau majas adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Kekhasan dari gaya bahasa ini terletak pada pemilihan kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan makna yang sebenarnya.
Majas adalah cara menampilkan diri dalam bahasa. Menurut Prof. Dr. H. G. Tarigan bahwa majas adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Unsur kebahasaan antara lain: pilihan kata, frase, klausa, dan kalimat. Menurut Goris Keraf, sebuah majas dikatakan baik bila mengandung tiga dasar, yaitu: kejujuran, sopan santun, dan menarik.
Gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Gaya bahasa perulangan
2. Gaya bahasa perbandingan
3. Gaya bahasa pertentangan
4. Gaya bahasa pertautan


A. Gaya Bahasa Perulangan
Majas perulangan yaitu majas yang cara cara melukiskan suatu keadaan dengan cara mengulang-ulang kata, frase, suatu maksud. Yang termasuk ke dalam majas ini antara lain majas anaphora, tautologi, repetisi, epifora, dan lain-lain.

1. Repetisi
Repetisi merupakan majas perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat. Majas repetisi ialah majas perulangan yang cara melukiskan suatu hal dengan mengulang-ulang kelompok kata atau frasa yang sama (Ducrot dan Todorov, 1981 : 279).
Contoh:
Seumpama eidelwis akulah cinta abadi yang tidak akan pernah layu
Seumpama merpati akulah kesetiaan yang tidak pernah ingkar janji
Seumpama embun akulah kesejukan yang membasuh hati yang lara
Seumpama samudra akulah kesabaran yang menampung keluh kesah segala muara.

2. Kiasmus
Kiasmus ialah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat. Majas kiasmus merupakan bentuk majas perulangan yang isinya mengulang atau repetisi sekaligus merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat (Ducrot dan Todorov, 1981 : 277)..
Contoh:
Yang kaya merasa dirinya miskin, sedang yang miskin mengaku dirinya kaya. Sudah biasa dalam kehidupan sehari-hari, orang pandai ingin disebut bodoh, namun banyak orang bodoh mengaku pandai.
Ia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.

3. Epizeukis
Epizeukis ialah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung. Maksudnya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.
Contoh :
Kita harus bekerja, bekerja, dan bekerja untuk mengajar semua ketinggalan kita.
Ingat kami harus bertobat, bertobat, sekali lagi bertobat.

4. Tautotes
Tautotes ialah gaya bahasa perulangan yang berupa pengulangan sebuah kata berkali-kali dalam sebuah konstruksi.
Contoh :
kau menunding aku, aku menunding kau, kau dan aku menjadi seteru
Aku adalah kau, kau adalah aku, kau dan aku sama saja.

5. Anafora
Anafora ialah gaya bahasa repetisi yang merupakan perulangan kata pertama pada setiap baris atau kalimat. Majas anafora merupakan bentuk majas perulangan yang menempatkan kata atau frasa yang sama di depan suatu puisi (Suprapto, 1991 : 11).
Contoh :
Apatah tak bersalin rupa, apatah boga sepanjang masa
Kucari kau dalam toko-toko.
Kucari kau karena cemas karena sayang.
Kucari kau karena sayang karena bimbang.
Kucari kau karena kaya mesti disayang.

6. Epistrofa (efifora)
Epistrofa ialah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Majas epifora merupakan majas repetisi atau perulangan yang cara melukiskannya dengan menempatkan kata atau kelompok kata yang sama di belakang baris dalam bentuk puisi secara berulang (Suprapto, 1991 : 27).
Contoh :
Kalau kau izinkan, aku akan datang,
Jika sempat, aku akan datang,
Jika kau terima, aku akan datang,
Jika tak hujan, aku akan datang,

Bumi yang kau diami, laut yang kaulayari adalah puisi,
Udara yang kau hirupi, ari yang kau teguki adalah puisi
Ibumu sedang memasak di dapur ketika kau tidur.
Aku mencercah daging ketika kau tidur.

7. Simploke
Simploke ialah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan awal dan akhir beberapa baris (kalimat secara berturut-turut).
Contoh :
Kau bilang aku ini egois, aku bilang terserah aku.
Kau bilang aku ini judes, aku bilang terserah aku.
Ada selusin gelas ditumpuk ke atas. Tak pecah.
Ada selusin piring ditumpuk ke atas. Tak pecah.
Ada selusin barang lain ditumpuk ke atas. Tak pecah.

8. Mesodiplosis
Mesodiplosis ialah gaya bahasa repetisi yang berupa pengulangan kata atau frase di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut.
Contoh :
Para pembesar jangan mencuri bensin. Para gadis jangan mencari perawannya sendiri.
Pendidik harus meningkatkan kecerdasan bangsa.
Para dokter harus meningkatkan kesehatan masyarakat.

9. Epanalepsis
Epanalepsis ialah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada akhir baris, klausa, atau kalimat mengulang kata pertama.
Contoh :
Kita gunakan pikiran dan perasaan kita.
Saya akan berusaha meraih cita-cita saya.

10. Anadiplosis
Anadiplosis ialah gaya bahasa repetisi yang kata atau frase terakhir dari suatu kalimat atau klausa menjadi kata atau frase pertama pada klausa atau kalimat berikutnya.
Contoh:
Dalam baju ada aku,
dalam aku ada hati.
Dalam hati : ah tak apa jua yang ada.

Dalam raga ada darah
Dalam darah ada tenaga
Dalam tenaga ada daya
Dalam daya ada segalanya

11. Pararima
Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.

12. Aliterasi
Sejenis gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan pada suatu kata atau beberapa kata, biasanya terjadi pada puisi. Aliterasi merupakan majas perulangan yang memanfaatkan purwakanti atau kata-kata yang suku kata awalnya memiliki persamaan bunyi (Suprapto, 1991 : 6).
Contoh
Mengalir, mengambus, mendesak, mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh
Serasa manis semilir angin
Selagu merdu, dersik bayu

Kau keraskan kalbunya
Bagai batu membesi benar
Timbul telangkai bertongkat urat
Ditunjang pengacara petah pasih

13. Asonansi
Asonansi ialah sejenis gaya bahasa perulangan yang berupa perulangan vokal, pada suatu kata atau beberapa kata. Biasanya dipergunakan dalam puisi untuk mendapatkan efek penekanan.
Contoh:
Segala ada menekan dada
Mati api di dalam hati
Harum sekuntum bunga rahasia
Dengan hitam kelam

B. Gaya Bahasa Perbandingan
Majas perbandingan adalah majas yang cara melukiskan keadaan apapun dengan menggunakan perbandingan antara satu hal dengan hal lain . yang termasuk majas ini misalnya majas asosiasi, metafora, personifikasi, alegori, pleonasme, dan lain-lain.

1. Perumpamaan
Perumpamaan ialah padanan kata atau simile yang berarti seperti. Secara eksplisit jenis gaya bahasa ini ditandai oleh pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa. Istilah simile berasal dari bahasa Latin ‘simile’ yang bermakna seperti. Majas simile merupakan majas yang menggambarkan suatu keadaan dengan membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lainnya yang pada hakikatnya berbeda namun disengaja untuk dipersamakan (Ducrot dan Todorov, 1981 : 279). Hal-hal tersebut dibandingken secara eksplisit dengan penggunaan kata-kata seperi, bagaikan, laksana, umpama, dan lain-lain. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll. Simile adalah bahasa kiasan berupa pernyataan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding. Secara eksplisit jenis gaya bahasa ini ditandai oleh pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa.
Contoh:
Seperti air di daun talas
Wajahnya bagaikan bulan kesiangan
Umpama kucing dengan tikus
Seperti air dengan minyak.
Nyalakanlah semangat bagai dian nan tak kunjung padam
Bersabarlah seperti samudra yang mampu menampug keluh kesah segala muara.

2. Metafora
Metafora berasal dari bahasa Yunani ‘metaphora’ yang artinya ‘memindahkan. Istilah metaphora diturunkan dari kata ‘meta’ yang artinya di atas dan ‘pherein’ yang artinya membawa (Tarigan, 1993 : 141).
Suatu majas yang sering lali menimbulkan penambahan kekuatan dalam suatu kalimat. Majas metafora membatu orang yang berbicara atau menulis untuk menggambarkan hal-hal dengan jelas, dengan cara membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lain yang emiliki ciri-ciri dan sifat yang sama. Perbedaan metafora dengan simile yaitu, majas metafora bersifat implisit sedangkan majas simile bersifat eksplisit. Dibandingkan dengan majas lainnya, majas metafora merupakan majas yang paling singkat, padat, dan rapi.
Poerwadarminta menjelaskan, metafora yaitu majas dengan pemakaian kata-kata yang memiliki arti lain, tetapi merupakan lukisan yang didasarkan persamaan atau perbandingan (1976 : 648)
Contoh :
Pustaka itu gudangnya ilmu, dan membaca adalah kuncinya.
Kesabaran adalah bumi
Kesadaran adalah matahari
Keberanian menjelma kata-kata
Dan perjuangan adalah pelaksana kata-kata(sebuah bait dalam puisi Rendra)
Dewi malam telah keluar dari peradaannya (dewi malam = bulan)
Mereka telah menjadi sampah masyarakat (sampah masyarakat = manusia-manusia yang tak berguna dalam masyarakat)
Semangatnya berkobar-kobar untuk meneruskan perjuangannya (berkobar-kobar = semangat yang hebat diumpamakan dengan nyala api).
Aku adalah angin yang kembara.

3. Personifikasi
Personifikasi ialah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda yang tidak bernyawa ataupun pada ide yang abstrak. Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Adalah majas yang menerapakan sifat-sifat manusia terhadap benda mati. Personifikasi/Penginsanan adalah gaya bahasa yang mempersamakan benda-benda dengan manusia, punya sifat, kemampuan, pemikiran, perasaan, seperti yang dimiliki dan dialami oleh manusia.
Contoh:
Angin bercakap-cakap sama daun-daun, bunga-bunga, kabut dan titik embun.
Indonesia menangis, duka nestapa Aceh memeluk erat sanubari bangsaku.
Saat ku melihat rembulan, dia seperti tersenyum kepadaku seakan-akan aku merayunya.
Badai menderu-deru.
Lautan mengamuk.
Hatinya berkata bahwa perbuatan ini tak boleh dilakukannya.
Angin melambai-lambai.
Deru ombak memanggil-manggil para pemuda harapan bangsa.
Bunga ros menjaga dirinya dengan duri.

4. Depersonifikasi
Depersonifikasi ialah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat suatu benda tak bernyawa pada manusia atau insan. Biasanya memanfaatkan kata-kata: kalau, sekiranya, jikalau, misalkan, bila, seandainya, seumpama. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
Contoh:
Kalau engkau jadi bunga, aku jadi tangkainya.

5. Alegori
Alegori sering mengandung sifat-sifat moral spiritual. Biasanya alegori tersebut membangun cerita yang rumit dengan maksut yang terselubung. Cerita fabel dan parabel merupakan alegori-alegori yang pendek.
Alegori yaitu gaya basa yang memperlihatkan perbandingan yang utuh, yang membentuk kemanunggalan kang paripurna, minangka cerios kang diangge kangge perlambang kangge ndidik atau menerangakan suatu hal (Suprapto, 1991 : 10).
Alegori ialah gaya bahasa yang menggunakan lambang-lambang yang termasuk dalam alegon antara lain: fable dan parable. Alegori ialah gaya bahasa yang menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran. Alegori adalah kata kiasan berbentuk lukisan/cerita kiasan, merupakan metafora yang dikembangkan.
Contoh:
Sanjak “Menuju Ke Laut” karya Sutan Takdir Alisyahbana. Biasanya bersifat simbolis
Contoh fable :Kancil dan Buaya
Contoh parabel: Cerita Adam dan Hawa

6. Alusio
Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal. Alusio adalah gaya bahasa yang menampilkan adanya persamaan dari sesuatu yang dilukiskan yang sebagai referen sudah dikenal pembaca.
Contoh:
Bandung dikenal sebagai Paris Jawa.
Bung Karno – Bung Karno kecil menunjukkan kebolehannya dalam lomba pidato membawakan fragmen “Di Bawah bendera Revolusi”.

7. Antitesis
Secara kalamiah antitesis diturunkan dari kata ‘antithesis’ yang artinya ‘musuh yang cocok’ atau pertentangan sang yang benar-benar (Poerwadarminta, 1976 : 52).
Majas antitesis tersebut sejenis majas yang sengaja mengadakan komparasi (perbandingan) antara dua antonim (yaitu dua kata yang memiliki ciri semantik yang sebaliknya).
Antitesis ialah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan.
Contoh:
Dia gembira atas kegagalanku dalam ujian.

8. Pleonasme
Pleonasme adalah penggunaan kata yang mubazir yang sebesarnya tidak perlu. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan. Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Contoh-contoh:
Dia turun ke bawah => Dia turun
Dia naik ke atas => Dia naik
Capek mulut saya berbicara.

9. Tautologi
adalah gaya bahasa yang menggunakan kata atau frase yang searti dengan kata yang telah disebutkan terdahulu. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya. Tautologi adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berulang dengan kata-kata yang maknanya sama supaya diperoleh pengertian yang lebih mendalam,
Tautologi merupakan suatu majas perulangan yang cara melukiskanya dengan mengulang-ulang kata yang ada dalam kalimat (Suprapto, 1991 : 85).
Contoh :
Tak ada badai tak ada topan, tiba-tiba saja ia marah.
So pasti, buku-buku bermutu banyak memberikan manfaat bagi pembacanya.
Apa maksud dan tujuannya datang ke mari?

10. Perifrasis
Perifrasis ialah gaya bahasa yang dalam pernyataannya sengaja menggunakan frase yang sebenarnya dapat diganti dengan sebuah kata saja. Perifrase merupakan ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
Contoh:
Nissa telah menyelesaikan sekolah dasarnya tahun 2008 (lulus).

11. Antisipasi (prolepsis)
Antisipasi ialah gaya bahasa yang dalam pernyataannya menggunakan frase pendahuluan yang isinya sebenarnya masih akan dikerjakan atau akan terjadi.
Contoh:
Aku melonjak kegirangan karena aku mendapatkan piala kemenangan.

12. Koreksio (epanortosis)
Koreksio ialah gaya bahasa yang dalam pernyataannya mula-mula ingin menegaskan sesuatu. Namun, kemudian memeriksa dan memperbaiki yang mana yang salah. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya. Dipakai untuk membetulkan kembali apa yang salah diucapkan baik yang disengaja maupun tidak.
Contoh:
Dia adikku! Eh, bukan, dia kakakku!
Gedung Sate berada di Kota Jakarta. Eh, bukan, Gedung Sate berada di Kota Bandung.
Sudah setengah abad kita merdeka, eh bukan, 60 tahun malah, nah selama itu, kemajuan apasajakah yang sudah kita capai?
Dalam dunia sastra, kita mengenal Pelopor Angkatan ’45 yaitu Rendra, ah bukan, bukan Rendra, yang benar adalah Chairil Anwar.
Silakan Riki maju, bukan, maksud saya Rini!

13. Antropomorfisme
Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.

14. Sinestesia
Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.

15. Antonomasia
Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis. Majas perbandingan yang menyebutkan sesuatu bukan dengan nama asli dari benda tersebut, melainkan dari salah satu sifat benda tersebut.
Contoh:
Hei Jangkung!
Si Pintar
Si Gemuk
Si Kurus

16. Aptronim
Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
Contoh :
Sulit kalau bicara dengan Si Bolot, orang bertanya ke mana dijawab ke mana.

17. Metonimia
Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut. Apabila sepatah kata atau sebuah nama yang berasosiasi dengan suatu benda dipakai untuk menggantikan benda yang dimaksud.
Metonemia adalah bahasa kiasan dalam bentuk penggantian nama atas sesuatu.
Contoh:
Kita harus bersyukur tinggal di negeri Zamrud Khatulistiwa yang elok permai ini
Panda banyak terdapat di negeri Tirai Bambu.
Ayah selalu mengisap Djarum Super (Djarum Super adalah merk rokok). Mengisap Djarum Super artinya mengisap rokok merk Djarum Super.
Pak guru mengendarai Kijang (Kijang adalah jenis mobil). Mengendarai Kijang artinya mengendarai mobil jenis Kijang.
Ayah mengendarai Vespa (Vespa adalah merk skuter). Mengendarai Vespa artinya mengendarai skuter merk Vespa.

18. Asosiasi
Majas asosiasi merupakan majas perbandingan yang cara melukiskan suatu hal dengan cara membandingkan suatu hal dengan hal lain, sesuai dengan keadaan hal yang dimaksud (Suprapto, 1991 : 14). Asosiasi adalah perbandingan terhadap dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama. Gaya bahasa ini memberikan perbandingan terhadap sesuatu benda yang sudah disebutkan. Perbandingan itu menimbulkan asosiasi terhadap banda sehingga gambaran tentang benda atau hal yang disebutkan itu menjadi lebih jelas.
Contoh:
Semangatnya keras bagai baja.
Pikirannya kusut bagai benang dilanda ayam.
Suaranya merdu bagai buluh perindu.

19. Hipokorisme
Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.

20. Tropen
Majas tropen yaitu majas perbandingan yang cara menggambarkan suatui pekerjaan denganmenggunakan kata-kata yang memiliki pengertian yang sama (Suprapto, 1991 : 88).
Contoh :
Tiap malam ia menjual suara dari satu panggung ke panggung lainnya.
Untuk membela anak istri, kurelakan walau bermandi darah.

C. Gaya Bahasa Pertentangan
Majas pertentangan yaitu majas yang cara melukiskan hal apapun dengan mempertentangkan antara hal yang satu dengan hal yang lainnya. Yang termasuk ke dalam jenis majas ini antara lain hiperbola, litotes, oksimoron, paronomasia, ironi, paralipsis, dan lain-lain.

1. Hiperbola
Hiperbola ialah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekan, memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya.
Hiperbola merupakan pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. Adalah sepatah kata yang diganti dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat dapipada kata lain.
Contoh:
Harga-harga sudah meroket.
Ketika mendengar berita itu, mereka terkejut setengah mati
Saya ucapkan beribu-rbu terima kasih atas perkenan Bapak dan Ibu menghadiri undangan panitia.
Bertemu kamu sayang, wahai sahabatku yang elok dan indah, syahdu, hati berbunga-bunga sejuta rasanya terbang melayang di angkasa bahagia.
Pemikiran-pemikirannya tersebar ke seluruh dunia.

2. Antitesis
Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya. Majas pertentangan yang menggunakan paduan kata yang berlawanan arti.
Contoh:
Tua muda, besar kecil, semuanya hadir di tempat itu

3. Anakronisme
Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya.
Contoh :
Sambil menyalakan TV, sekali-sekali Hang Tuah melirik jam tangan Titusnya.
Aladin bermain golf.

4. Litotes
Litotes ialah majas yang berupa pernyataan yang bersifat mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.
Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri. Apabila kita menggunakan kata yang berlawanan artinya dengan yang dimaksud dengan merendahkan diri terhadap orang yang berbicara.
Contoh:
Sekali-kali datanglah ke gubuk reotku.
Wanita itu parasnya tidak jelek.
Akan kutunggu engkau di bilikku yang kumuh di desa.
Apa yang kami berikan ini memang tak berarti buatmu.

5. Ironi
Ironi ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Ironi merupakan sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut. Ialah salah satu majas sindiran yang dikatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud menyindir orang dan diungkapkan secara halus.
Ironi/sindiran adalah gaya bahasa berupa penyampaian kata-kata denga berbeda dengan maksud dengan sesungguhnya, tapi pembaca/pendengar, di harapkan memahami maksud penyampaian itu.
contoh:
Kuakui, kutu buku yang satu ini memang berpengetahuan luas sekali.
Hambur-hamburkan terus uangmu itu agar bias menjadi jutawan.
Kota Bandung sangatlah indah dengan sampah-sampahnya.
Bagus benar rapormu, Bar, banyak merahnya.

6. Oksimoron
Oksimoron ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau dalam kalimat yang sama.
Contoh:
Olahraga mendaki gunung memang menarik walupun sangat membahayakan.

7. Paronomosia
Paronomasia ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang berisi penjajaran kata-kata yang sama bunyinya, tetapi berlainan maknanya.
Contoh:
Bisa ular itu bisa masuk ke sel-sel darah.

8. Zeugma
Zeugma ialah gaya bahasa yang menggunakan dua konstruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain. Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahkan kedua kata berikutnya sebenarnya hanya cocok untuk salah satu dari padanya. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.
Contoh:
Kami sudah mendengar berita itu dari radio dan surat kabar.

9. Silepsis
Dalam silepsis kata yang dipergunakannya itu secara gramatikal benar, tetapi kata tadi diterapkan pada kata lain yang sebenarnya mempunyai makna lain. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
Contoh:
Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.

10. Satire
Satire ialah gaya bahasa sejenis argumen atau puisi atau karangan yang berisi kritik sosial baik secara terang-terangan maupun terselubung. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
Satire adalah gaya bahasa sejenis ironi yang mengandung kritik atas kelemahan manusia agar terjadi kebaikan. Tidak jarang satire muncul dalam bentuk puisi yang mengandung kegetiran tapi ada kesadaran untuk berbenah diri.
Contoh:
Aku lalai di pagi hari
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu miskin harta
(Bait II puisi “Menyesal” karya M. Ali Hasymi)

Jemu aku dengan bicaramu.
Kemakmuran, keadilan, kebahagiaan
Sudah sepuluh tahun engkau bicara
Aku masih tak punya celana
Budak kurus pengangkut sampah

11. Antifrasis
Antifrasis ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang menggunakan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Berbeda dengan ironi, yang berupa rangkaian kata yang mengungkapkan sindiran dengan menyatakan kebalikan dari kenyataan, sedangkan pada antifrasis hanya sebuah kata saja yang menyatakan kebalikan itu.
Contoh Antifrasis:
Lihatlah sang raksasa telah tiba (maksudnya si cebol).
Contoh ironi:
Kami tahu bahwa kau memang orang yang jujur sehingga tak ada satu orang pun yang percaya padamu.

12. Paradoks
Paradoks ialah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar. Majas ini terlihat seolah-olah ada pertentangan.
Paradoks adalah gaya bahasa berupa pernyataan yang mengandung kontras/pertentangan, namun ternyata mengandung kebenaran.
Contoh:
Betapa banyak orang yang dalam kesendiriannya merasa kesepian di kota sehiruk-pikuk Jakarta.
Sebagai dosen, terus terang, saya juga banyak belajar dari mahasiswa-mahasiswi saya.
Gajinya besar, tapi hidupnya melarat.
Artinya, uang cukup, tetapi jiwanya menderita.
Teman akrab adakalanya merupakan musuh sejati.

13. Klimaks
Klimaks ialah gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin mengandung penekanan atau makin meningkat kepentingannya dari gagasan atau ungkapan sebelumnya. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting. .Klimaks, yang disebut juga gradasi, adalah gaya bahsa berupa ekspresi dan pernyataan dalam rincian yang secara periodek makin lama makin meningkat, baik kuantitas, kualitas, intensitas, nilainya. Klimaks dalah semacam gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal yang dituntut semakin lama semakin meningkat.
Contoh :
Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran membuahkan pengalaman, dan pengalaman membuahkan harapan.
Idealnya setiap anak Indonesia pernah menempuh pendidikan formal di TK, SD, SMP, SMA/SMK, syukur S2, S3 sampai gelar Doktor dan kalau mengajar di Perguruan Tinggi bergelar Profesor/Guru Besar pula.
Dalam apresiasi sastra, mula-mula kita hanya membaca selayang pandang puisi yang akan kita apresiasi, lalu kita membaca berulang-ulang sampai paham maksudnya, merasakan keindahannya, terus mengkajidalami, bisa membawakannya penuh penghayatan, sampai kita mampu menghargai keberadaan dan mencintainnya, syukur juga terpangil untuk kreatif menciptakan bentuk-bentuk sastra.
Hidup kita diharapkan berguna bagi saudara, orang tua, nusa bangsa dan negara.

14. Anti klimaks
Antiklimaks ialah suatu pernyataan yang berisi gagasan-gagasan yang disusun dengan urutan dari yang penting hingga yang kurang penting. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting. Antiklimaks merupakan antonim dari klimaks adalah gaya bahasa berupa kalimat terstruktur dan isinya mengalami penurunan kualitas, kuantitas intensitas. Gaya bahasa ini di mulai dari puncak makin lama makin ke bawah. Dengan demikian, antiklimaks adalah gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal berurutan semakin lma semakin menurun.
Contoh :
Ketua pengadilan negeri itu adalah orang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya.
Bagi milyader bakhlil, jangankan menyumbang jutaan rupiah, seratus ribu, lima puluh ribu, sepuluh ribu, seribu rupiah pun ia enggan, masih dihitung-hitung.
Jauh sebelum memperoleh mendali emas dalam Olimpiade Athena 2004 cabang bulutangkis, Taufik Hidayat niscaya telah menjadi juara nasional dan sebelumnya juga tingkat propinsi, kabupaten, malahan pula tingkat kecamatan, desa, RT/RW.
Bahasa Indonesia diajarkan kepada mahasiswa, siswa SLTA, SLTP, dan SD.

15. Apostrof
Apostrof ialah gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir.
Contoh:
Wahai dewa yang agung, datanglah dan lepaskan kami dari cengkraman durjana.

16. Anastrof atau inversi
Anastrof ialah gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan membalikkan susunan kata dalam kalimat atau mengubah urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
Contoh:
Diceraikannya istrinya tanpa setahu saudara-saudaranya.

17. Apofasis
Apofasis ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang tampaknya menolak sesuatu, tetapi sebenarnya justru menegaskannya. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan
Contoh :
Sebenarnya saya tidak sampai hati mengatakan bahwa anakmu kurang ajar.

18. Histeron Proteran
Histeron Proteran ialah gaya bahasa yang isinya merupakan kebalikan dari suatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar.
Contoh :
Jika kau memenangkan pertandingan itu berarti kematian akan kau alami.

19. Hipalase
Hipalase ialah gaya bahasa yang berupa sebuah pernyataan yang menggunakan kata untuk menerangkan suatu kata yang seharusnya lebih tepat dikarenakan kata yang lain.
Contoh:
Ia duduk pada bangku yang gelisah.

20. Sinisme
Sinisme ialah gaya bahasa yang merupakan sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan atau ketulusan hati. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
Contoh:
Anda benar-benar hebat sehingga pasir di gurun sahara pun dapat Anda hitung.

21. Sarkasme
Sarkasme ialah gaya bahasa yang mengandung sindiran atau olok-olok yang pedas atau kasar. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar. Gaya bahasa sindiran yang terkasar dimana memaki orang dengan kata-kata kasar dan tak sopan.
Contoh:
Soal semudah ini saja tidak bisa dikerjakan. Goblok kau!
Kau memang benar-benar bajingan.

22. Innuendo
Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya
Contoh:
Dia memang baik, cuma agak kurang jujur.

23. Kontradiksi interminus
Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Yaitu majas yang memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang sudahdikatakan semula. Apa yang sudah dikatakan, disangkal lagi oleh ucapan kemudian.
Contoh:
Semuanya sudah hadir, kecuali Si Amir.
Kalau masih ada yang belum hadir, mengapa dikatakan “semua” sudah hadir.
semuanya telah diundang, kecuali Sinta.

24. Praterito
Majas praterito yaitu majas yang cara mengungkapkan suatu hal dengan cara menyembunyikan maksud. Pendengar atau pembaca harus mencari atau menebak apa yang tersembunyi tersebut namun pendengar atau pembaca sudah paham dan mengerti terhadap hal yang disembunyikan itu. (Suprapto, 1991 : 64).
Contoh :
Kejadian kemarin betul-beul mempermalukan warga sekampung.
Maklumlah, hal itu sudah menjadi kebiasaan murid waktu ulangan.

25. Alonim
Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.

26. Kolokasi
Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
Contoh:
Mobil itu berderit ketika sopir menginjak rem tiba-tiba, di tikungan, meninggalkan bekas ban yang tajam di jalanan yang berdebu.

27. Okupasi
Majas okupasi merupakan majas pertentangan atau berlawanan yang mengandung bantahan namun bantahan tersebut kemudian diberi penjelasan (Suprapto, 1991 : 56).
Contoh :
Candu itu dapat merusak kehidupan, oleh karena itu, pemerintah mengawasi dengan ketat, untuk pecandunya sendiri, umumnya tidak dapat menghentikan kebiasaan yang tidak baik tersebut.


D. Gaya Bahasa Pertautan
Majas pertautan yang cara menjelaskan suatu keadaan dengan mengaitkan hal yang dimaksud dengan lainnya yang memiliki sifat yang berkarakteristik sama atau mirip. Yang termasuk ke dalam jenis majas pertautan di antaranya metonimia, sinekdot, alusio, eufimisme, elipsis, inverse, dan lain-lain.

1. Metonimia
Metonimia berasal dari bajasa Yunani ‘meta’ yang artinya pertukaran dan ‘onym’ yang artinya nama. Metonimia merupakan sejenis majas yang menggunakan nama suatu benda untuk suatu hal lain yang memiliki keterkaitan dengan benda yang dimaksud. Dalam metonimia, suatu benda disebutakan tetapi yang dimaksud adalah benda lain (Dale (et all), 1971 : 234).
Majas metonimia merupakan majas yang mempergunakan nama ciri ataui ciri hal yang menjadi cirri terhadap hal yang dimaksud kemudian ditautakan denngan mausia, barang, atau apapun sebagai gantinya (Suprapto, 1991 : 50). Metonimia ialah gaya bahasa yang menggunakan nama barang, orang, hal, atau ciri sebagai pengganti barang itu sendiri.
Contoh:
Parker jauh lebih mahal daripada pilot.

2. Antanaklasis
Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan. Antanaklasis merupakan bentuk majas perulangan yang memiliki pengulangan kata yang sama tetapi berbeda maksudnya. Jadi, majas antanaklasis itu majay yang menulang kata homonimi (Ducrot dan Todorov, 1981 : 227).
Contoh :
Angga membawa kembang untuk kembang desa yang dipujanya.
Enaknya lintah darat itu mulutnya disumpal lintah, biar kapok
Karena buah penanya itu menjadi buah bibir orang.

3. Simbolik
Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.
Contoh :
Cintaku kepadamu tak akan pernah layu, bagai bunga surga.
Cintaku kepadamu kan selalu bergelora, bagai ombak samudra.

4. Sinekdoke
Sinekdoke ialah gaya bahasa yang menyebutkan nama sebagian sebagai nama pengganti barang sendiri. Sinekdoke adalah bahasa kiasan dengan cara menyebutkan sesuatu bisa sebagian untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto), bisa pula sebaliknya keseluruhan digunakan untuk menyebut yang sebagian (totem pro parte)
Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
Totem pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Contoh Sinekdoke pars pro toto:
Lima ekor kambing telah dipotong pada acara itu.
Korban gelombang Tsunami 26 Desember 2004 mencapai 100 jiwa lebih.
Dalam Idul Adha tahun ini, Masjid Al-Amin berkurban 6 ekor sapi 10 ekor kambing.
Contoh Sinekdoke totem pro parte:
Dalam pertandingan itu Indonesia menang satu lawan Malaysia.
Dalam copa Amerika 2004, Brazil mengalahkan Argentina.
Karya-karya menjadi cindera mata bagi dunia

5. Alusio
Alusio ialah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu pristiwa atau tokoh yang telah umum dikenal/ diketahui orang.
Contoh:
Apakah peristiwa Madiun akan terjadi lagi di sini?

6. Eufimisme
Eufimisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasa lebih kasar yang dianggap merugikan atau yang tidak menyenangkan. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus. Eufemisme adalah gaya bahasa berupa pengungkapan yang sifatnya menghaluskan supaya tidak menyinggung perasaan, tidak terasa tajam.
Eufimisme berasal dari bahasa Yunani ‘euphemizein’ yang berarti ‘berbicara dengan menggunakan kata-kata yang jelas dan wajar’. Euphemizein diturunkan dari kata ‘eu’ yang berarti baik atau bagus ‘phanai’ yang berarti bicara. Jadi jelas, eufimisme artinya pandai berbicara baik (Dale (et all) 1971 : 239).
Contoh:
Karena melakukan sesuatu yang kurang pas, Pak Bandot akhirnya dikenai pension dini.
(Terlibat skandal, korupsi, dipecat, di PHK)
Anak itu tinggal kelas karena agak terlambat dalam mengikuti pelajaran.
(Bodoh)
Tunasusila sebagai pengganti pelacur.

7. Disfemisme
Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
Contoh :
Hati-hati, kita mulai masuk hutan larangan. Di sini banyak hantu!

8. Eponim
Eponim ialah gaya bahasa yang menyebut nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
Contoh:
Dengan latihan yang sungguh saya yakin Anda akan menjadi Mike Tyson.

9. Antonomasia
Antonomasia ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang menggunakan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri.
Contoh:
Kepala sekolah mengundang para orang tua murid.

10. Epitet
Epitet ialah gaya bahasa yang berupa keterangan yang menyatakan sesuatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau suatu hal.
Contoh:
Putri malam menyambut kedatangan remaja yang sedang mabuk asmara.

11. Erotesis
Erotesis ialah gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang tidak menuntut jawaban sama sekali.
Contoh:
Tegakah membiarkan anak-anak dalam kesengsaraan?

12. Paralelisme
Paralelisme ialah gaya bahasa yang berusaha menyejajarkan pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dan memiliki bentuk gramatikal yang sama. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar. Pengulangan kata-kata untuk menegaskan yang terdapat pada puisi. Bila kata yang diulang pada awal kalimat dinamakan anaphora, dan jika terdapat pada akhir kalimat dinamakan evipora. Contoh-contoh:
Kau berkertas putih
Kau bertinta hitam
Kau beratus halaman
Kau bersampul rapi.
Kalau kau mau aku akan datang
Jika kau menginginkan aku akan datang
Bila kau minta aku akan datang
Andai kau ingin aku akan datang
+ Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas.
- Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus memberantasnya (Ini contoh yang tidak baik).

13. Elipsis
Elipsis ialah gaya bahasa yang di dalamnya terdapat penanggalan atau penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting dari suatu konstruksi sintaksis. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada. Elipsis adaklah gaya bahasa berupa penyusunan kalimat yang mengandung kata-kata yang sengaja dihilangkan yang sebenarnya bisa diisi oleh pembaca/penyimak.
Contoh:
Pembangunan mencakup dua hal yakni pembangunan material dan …….,pembangunan lahiriah dan …….., pembangunan individual dan ……….
Apa saja yang ada di dunia serta berpasangan ada siang ada ………, ada baik ada…….., ada terang ada ………, ada pertemuan ada …….., roda berputar kadang di atas kadang …………
Mereka ke Jakarta minggu lalu (perhitungan prediksi).
Pulangnya membawa oleh-oleh banyak sekali (Penghilangan subjek).
Saya sekarang sudah mengerti (Penghilangan objek).
Saya akan berangkat (penghilangan unsur Keterangan).
Mari makan!(penghilangan subyek dan obyek).

14. Gradasi
Gradasi ialah gaya bahasa yang mengandung beberapa kata (sedikitnya tiga kata) yang diulang dalam konstruksi itu.
Gradasi yaitu majas yang memiliki rangkaian atau urutan sedikitnya tiga kata atau istilah yang secara sintaksis kata atau istilah tersebut memiliki satu ciri semantik atau lebih (Ducrot dan Todorov, 1981 : 277).
Contoh :
Kita berjuang melawan musuh dengan satu tekad, tekad terus maju, maju dalam kehidupan, kehidupan yang baik, baik secara rohani ataui jasmani, rohani atau jasmani yang diridhoi, diridhoi oleh Gusti Allah, Gusti Allah yang memiliki hidup dan mati. Hidup dan mati kita semua.

15. Asindeton
Asindenton ialah gaya bahasa yang berupa sebuah kalimat atau suatu konstruksi yang mengandung kata-kata yang sejajar, tetapi tidak dihubungkan dengan kata-kata penghubung. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung. Beberapa hal keadaan atau benda disebutkan berturut-turut tanpa menggunakan kata penghubung.
Contoh:
Meja, kursi, lemari ditangkubkan dalam kamar itu.
Ayah, ibu, anak merupakan inti dari sebuah keluarga.

16. Polisindeton
Polisindenton ialah gaya bahasa yang berupa sebuah kalimat atau sebuah konstruksi yang mengandung kata-kata yang sejajar dan dihubungkan dengan kata-kata penghubung. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
Contoh:
Pembangunan memerlukan sarana dan prasarana juga dana serta kemampuan pelaksana.

17. Retoris
Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut. Gaya bahasa penegasan ini mempergunakan kalimat Tanya-tak-bertanya. Sering menyatakan kesangsian atau bersifat mengejek.
Erotesis/pertanyaan retoris adalah gaya bahasa berupa pengajuan pertanyaan untuk memperoleh efek mengulang tanpa menghendaki jawaban, karena jawabannya sudah tersirat di sana. Gaya bahasa ini acap digunakan oleh para orator.
Contoh:
Biaya pendidikan di Perguruan Tinggi sangat mahal. Bisakah rakyat kecil menyekolahkan anaknya sampai ke sana? Siapa yang bisa berkuliah kalau bukan kaum berada?
Mana mungkin orang mati hidup lagi?!
Inikah yang kau namai bekerja?!

18. Interupsi
Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat. Gaya bahasa penegasan yang mempergunakan sisipan di tengah-tengah kalimat pokok, denagn maksud untuk menjelaskan sesuatu dalam kalimat tersebut.
Contoh:
Tiba-tiba Ia - kekasih itu - direbut oleh perempuan lain.

19. Enumerasio
Majas enumerasio yaitu majas gaya bahasa penegasan yang melukiskan atau menggambarkan suatu kejadian atau peristiwa agar seluruh maksud di dalam kalimat tersebut menjadi lebih lugas dan jelas (Suprapto, 1991 : 27).
Contoh :
Angin semilir perlahan, langit biru terlihat ringan, lazuardi cerah nilakandi, bulan pun bersinar kembali, sedang aku, cuma duduk sambil melamun. Memikirkanjantung hati, yang entah ke mana tak tahu rimbanya.
Korban meninggal saat itu juga, motonya hancur lebur, darah menganak sungai, mengalir ke mana-mana.


20. Resentia
Adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu yang tidak mengatakan tegas pada bagian tertentu dari kalimat yang dihilangkan.
Contoh : “Apakah ibu mau….?”

21. Anakuloton
Majas anakuloton merupakan majas yang dalam pemakaian kalimatnya sengaja disimpangkan dari kaidah-kaidah penulisan tata basa (Suprapto, 1991 : 11).
Contoh :
Jangan berebut, coba barisnya yang tartib!
Duduklah yang manis di krosi, jangan keluyuran!

22. Meiosis
Majas meiosis merupakan penegasan yang cara mengungkapkan suatu hal atau keadaan dengan menggunakan pernyataan yang halus. Majas ini sering digunakan secara ironi, khususnya untuk menggambarkan suatu hal yang luar biasa (Suprapto, 1991 : 49).
Contoh :
Hasil panennya agak kurang baik (untuk menyatakan panen gagal)
Dia kurang aktif di karang taruna (menyatakan malas)

23. Simetrisme
Majas simetriisme merupakan majas yang menyatakan suatu kalimat dengan menggunakan kata-kata yang lain ananum sesungguhnya kalimat tersebut mengandung makna yang sama (Suprapto, 1991 : 82).
Contoh :
Anak tersebut sudah dididik, diajar, dituntun berjalan direl yang benar.
Ayahku sudah pergi dan tak mungkin kembali lagi.
Hidup harus gemi, nastiti, dan hati-hati.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Sosiolinguistik, Suatu Tinjauan Deskriptif

A. Pengertian Sosiolinguistik
Secara umum sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum yaitu sebagai alat komunikasi. Sosiolingistik lazim didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa serta hubungan diantara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, 1978:94), Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan pengunaan bahasa karena ketiga unsur ini berinteraksi dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam linguistik. Berdasarkan teori Platt dalam (Siregar dkk 1998:54) berpendapat bahwa dimensi identitas sosial merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa di dalam masyarakat yang multilingual, dimensi ini mencakup kesukaran, umur, jenis kelamin, tingkat dan sarana pendidikan dan latar sosial ekonomi. Sedangkan Nababan (1994:2) mengatakan bahwa pengkajian-pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik. Sosiolinguistik memfokuskan penelitian pada variasi ujaran dan mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor- faktor sosial itu dengan variasi bahasa.
Berdasarkan pengertian menurut para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang erat kaitannya dengan sosiologi, hubungan antara bahasa dengan faktor- faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur serta mengkaji tentang ragam dan variasi bahasa.
Selanjutnya ada tujuh dimensi yang merupakan penelitian sosiolinguistik yaitu: (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. (Chaer, 2004:5).
Identitas sosial dari penutur dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tuturnya. Maka, identitas penutur dapat berupa anggota keluarga. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilih kode dalam bertutur. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di perpustakaan, di perkuliahan, di pinggir jalan hingga di lingkungan para waria. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur. Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, sedangkan dilingkungan para waria berbicara dalam mengunakan bahasa dalam kelompok tertentu dengan bahasa yang sering mereka gunakan, seperti ragam bahasa gaul.
Tingkatan variasi dan ragam linguistik, bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi, manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat beragam yang memiliki fungsi sosialnya masing- masing.
Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengindentifikasi diri (Chaer, 2004:1). Hal ini memberi gambaran bahwa bahasa adalah berupa bunyi yang digunakan oleh rnasyarakat untuk berkornunikasi. Keraf (1991:1) mengatakan bahwa bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa arus bunyi, yang mempunyai makna. Menerangkan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat terdiri atas dua bagian utama yaitu bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Sapir (1921) dalam Sibarani (2004:36) mengatakan bahwa bahasa adalah metode atau alat penyampaian ide, perasaan, dan keinginan yang sungguh manusiawi dan noninstingtif dengan mempergunakan sistem simbol- simbol yang dihasilkan dengan sengaja dan suka rela. Sedangkan menurut Sibarani (2004:37) Bahasa adalah bahasa sebagai system tanda atau sistem lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat.
Menurut pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa bentuk dan makna, sistem tanda atau system lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat untuk mengindenfikasi diri dalam makna yang berkaitan dengan penggunaan bahasa yang terdapat dalam kata yang diucapkan.
Indonesia adalah Negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka pengunaan bahasa Indonesia juga beragam. Apabila beberapa orang berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dipahami, pertama yang terdengar adalah berbagai bunyi dan berselang- seling dan rumit sekali. Ketika ingin semakin akrab dengan bahasa itu bunyi yang berselang- seling tadi berubah menjadi bunyi yang dapat dibedakan. Tiap bahasa memiliki aturan-aturan sendiri yang menguasai bunyi- bunyi dan urutan- urutannya, kata dan bentukan- bentuknya, kalimat dan susunannya.
Indonesia adalah Negara yang multilingual. Selain bahasa Indonesia yang digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah , besar maupun kecil, yang digunakan oleh para anggota masyarakat bahasa daerah itu untuk keperluan yang bersifat kedaerahan, tetapi di samping itu banyak pula yang hanya menguasai satu bahasa, namun ada pula yang menguasai dwi bahasa (bilingual) atau lebih dari dua bahasa (multi lingual).
Sebagai sebuah subjek kajian bahasa gaul merupakan suatu fenomena penciptaan bahasa yang berbeda namun berlaku dikalangan pengguna bahasa karena seperti yang kita ketahui bahwa bahasa memiliki salah satu sifat yang arbitrer bias diartikan sewenang-wenang, berubah ubah, tidak tetap, dan mana suka. Keraf (1991 : 16) menyatakan bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Dalam praktek kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari simbol dan alat komunikasi. Bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi serta penyampaiannya segala sesuatu dalam bentuk lisan kepada sesama manusia. Dalam pergaulan sehari- hari di berbagai kalangan mengakui adanya pluralitas orientasi seksual dikenal adanya penggunaan bahasa gaul di sekelompok waria yang secara budaya dan pengucapan menunjukkan kreasi dan kegairahan mereka tanpa menjadi terjebak pada penyeragaman bahasa yang monoton dan tidak berkembang.
Berbicara mengenai bahasa tidak hanya membicarakan satu jenis bahasa, tentu banyak pula ragamnya yang berdasarkan konteks situasi dimana mereka menggunakan bahasa yang mereka anggap sebagai alat komunikasi yang sering digunakan dalam kelompok mareka, salah satu bahasa yang digunakan ialah ragam bahasa gaul pada kalangan waria. Ragam bahasa yang disikapi dalam pengertian ini adalah fenomena bahasa pada kalangan waria. Dalam hal ini ragam bahasa yang digunakan seseorang dalam situasi non formal pada orang yang sama akan menukar bahasa tertentu, umpamanya membicarakan masalah adat di daerahnya, maka akan disesuaikan dengan bahan dan bahasa yang tepat. Begitu pula tentang bahasa pada kalangan waria yang ada di jalan Gajah Mada Medan.

B. Konteks dan Situasi
Menurut Poerwadarminta(2008:156) pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, konteks diartikan sebagai bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna. Istilah konteks dan situasi sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa. Walau kata konteks dan situasi sering diiringi penggunaannya, sebaliknya diadakan juga perbedaan antara kedua kata itu. Kata- kata pada satu bahasa yang dapat kita pahami tanpa mengenal konteksnya.
Fishmam (dalam Tarigan, 3:1988) beserta pakar sosiolinguistik lainnya sangat yakin bahwa maksud dan tujuan penggunaan satu atau dua bahasa sangat beraneka ragam dan barbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya dari orang ke orang bergantung pada topik, penyimak dan konteks. Berdasarkan penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalurnya, dan alatnya serta bagaimana situasi keformalannya.
Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh bahasa. Bahsa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status apakah ia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pemersatu, atau bahasa negara. Kridalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaanya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pengungkapan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaannya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut.
Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada penggunaan bahasa dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persurat kabaran), kesusastraan, dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku dalam pembicaraan atau gaya penuturan menunjuk pada situasi formal atau informal. Medium pengungkapan dapat berupa sarana atau cara penggunaan bahasa, misalnya bahasa lisan dan bahasa tulis, masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-ciri tertentu, sehingga ragam yang satu berbeda dengan ragam yang lain.
Penggunaan ragam bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi penggunanya. Hal ini mengindifikasikan bahwa kebutuhan manusia terhadap sarana komunikasi juga bermacam-macam. Untuk itu, kebutuhan sarana komunikasi bergantung pada situasi pembicaraan yang berlangsung. Dengan adanya keaneka ragaman bahasa di dalam masyarakat, kehidupan bahasa dalam masyarakat dapat diketahui, misalnya berdasarkan jenis pendidikan atau jenis pekerjaan seseorang, bahasa yang digunakan memperlihatkan perbedaan.
Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasai perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa termasuk bahasa gaul di kalangan waria menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing, menghendaki kesesuaian bahasa yang digunakan.

C. Ragam Bahasa
Manusia merupakan mahluk sosial, manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama. Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat secara individu. Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas diri dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari kelompok social tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda. Adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang dipergunakan beragam. Keragaman bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, ragam bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam. Dalam ragam bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. ragam bahasa juga dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pengguna, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan penggunaan ragam bahasa (Pateda dalam Chaer 1987: 52).
Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa beragam, yang dimaksud dengan tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik seperti di jalan, di Mall, hingga di lingkungan para waria. Dari segi penggunaannya, bahasa dapat menimbulkan keberagaman juga, istilah penggunaan di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Sedangkan ragam bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang digunakan dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kestandartan ini disebabkan oleh situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.
Ragam bahasa gaul ditinjau dari ilmu folklore adalah salah satu bentuk (genre) foklor yang disebut ”ujaran rakyat” (folk speech). Slang ini dapat berupa satu kalimat, tetapi dapat juga terdiri sebuah kata yang tidak lazim di dalam bahasa nasional Indonesia yang resmi.
Bahasa Slang oleh Kridalaksana (1982:156) dirumuskan sebagai ragam bahasa yang tidak resmi digunakan oleh kaum remaja, serta waria atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha orang di luar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosa kata yang serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan pendapat Alwasilah (1985:57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang bercirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, digunakan oleh kaum muda atau kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi di dalamnya.
Slang digunakan sebagai bahasa pergaulan. Kosakata slang dapat berupa pemendekan kata, penggunaan kata diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Disamping itu slang juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang lazim digunakan di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang berbeda makna sebenarnya dipertegas lagi kedalam bentuk.
Slang ini selanjutnya dapat dipertegas lagi ke dalam bentuk cant, yaitu bahasa gaul yang diucapkan dengan nada atau intonasi tertentu sehingga terasa ringan, lucu, dan ekspresif cocok untuk suasana santai yang bersifat rahasia. Sedangkan cant yang khusus dipergunakan oleh para penjahat atau preman dikenal dengan istilah Argot menurut Kridalaksana (1982:14) bahasa dan perbendaharaan kata suatu kelompok orang, seperti bahasa pencopet. Sedangkan menurut Chear (1995:80) Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi- profesi tertentu dan bersifat rahasia. Kelompok yang dimaksud disini adalah kelompok orang muda (orang yang merasa dirinya muda), maka yang sesuai dengan penelitian adalah bahasa Cant yang berfungsi sebagai bahasa dari sekelompok orang atau kalangan tertentu terutama pada kelompok remaja dan waria. Pada tahun 1940-an cant tersebut berbentuk penggantian suku kata (syllable) terakhir dari suatu kata dari suatu kata dengan ”se”. Sebagai contoh kata genis menjadi gense. Namun pada tahun 1980-an para pemuda usia ini mengambil alih bahasa prokem yang berasal dari para penjahat atau preman di Jakarta. Jadi ujaran rakyat kelompok usia muda sejak itu telah mengubah slang nya dari sifat cant menjadi argot. Bahasa prokem ini kemudian telah berhasil menjadikan dirinya menjadi bahasa lisan dari orang Indonesia pada umumnya di daerah perkotaan.
Bahasa pada kalangan homoseksual (gay dan lesbian) sangat menarik karena para homoseksual menciptakan cant tersendiri untuk kelompoknya. Bahasa para gay dan lesbian ini juga tidak langgeng, karena pada beberapa tahun ini telah timbul jenis cant gay yang lain lagi, yang mereka namakan bahasa gaul. Bahasa gaul saat ini semakin ngetop dan ngetrend, sehingga diambil alih juga oleh para remaja dan orang muda dari kalangan pengusaha, artis, film sinetron, mahasiswa dan lain- lain.
Bahasa para gay dan lesbian ini pada beberapa tahun yang lalu, adalah cant dengan cara menyisipkan suku kata ”in”, seperti untuk banci menjadi binancini, sedangakan untuk istilah bule menjadi binuline, dan sebagainya. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari, kalagan yang mengakui adanya prularitas orientasi seksual dikenal adanya pengguaan bahasa gaul yang secara budaya dan pengucapan mempertunjukkan kreasi dan kegairahan mereka tanpa menjadi terjebak pada penyeragaman bahasa yang membosankan, tanpa daya pikir, anti-kenikmatan dan mentabukan seksual. Sebaliknya mereka aktif menciptakan keragaman, merangsang gairah- gairah (pengucapan) oral mereka selalu aktif menciptakan dan menciptakan literatur yang lebih terbuka pada kesenangan para gay dan lesbian.
Secara permukaan dimarjinalkan, masyarakat secara aktif mengagungkan satu orientasi seksual yang sakral mengadopsinya dalam bahasa keseharian mereka (contoh: ”bencong”) di bawah ini adalah penjelasan singkat bagaimana kreativitas bahasa itu diekspresikan dalam keberagaman, yang disebut bentuk bahasa ”binan” waria. Bahasa gaul khusus yang diciptakan para waria khususnys di jalan Gajah Mada Medan dalam berkomunikasi sesama kelompok termasuk kedalam gejala bahasa.

D. Gejala Bahasa
Menurut Badudu (1985:47) gejala bahasa adalah peristiwa yang menyangkut bentuk kata atau kalimat dengan secara macam proses pembentukannya. Beberapa gejala bahasa yang digunakan dalam proses pembentukan kata dalam bahasa gaul khusus adalah penghilangan fonem, penambahan fonem dan metatesis dapat dilihat sebagai berikut:
1. Penghilangan Fonem
Gejala penghilangan fonem bahasa gaul khusus tidak banyak ditemukan, karena bahasa gaul khusus lebih banyak penambahan.
2. Penambahan Fonem
Gejala penanbahan fonem banyak ditemukan dalam proses pembentukan kata dalam bahasa gaul khusus. Gejala penambahan fonem terjadi gejala bahasa yang menyimpang. sebagai contoh yaitu:
a. Tambahan awalan 'ko'
Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam bahasa okem. Caranya, setiap kata dasar, yang diambil hanya suku kata pertamanya. Tapi suku kata pertama ini huruf terakhirnya harus konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil bukannya pre tapi prem. Setelah itu tambahi awalan ko, maka jadi koprem. Kata koprem ini kemudian dimodifikasi dengan menggonta-ganti posisi konsonan sehingga prokem. Dengan gaya bicara anak kecil yang baru bisa bicara, kata prokem lalu mengalami perubahan bunyi jadi okem.
Misalnya :
mati —> komat —> (ko + mat) = mokat
bisa —> kobis —> (ko + bis) = bokis
beli —> kobel —> (ko + bel) = bokel

b. Tambah awalan 'si'
Awalan si biasanya digunakan oleh waria di Jawa Timur. Cara penggunaannya dengan menambahkan kata si pada setiap kata yang digunakan dengan terlebih dahulu memenggal suku kata pertama dari suku kata belakang, sehingga menghasilkan bunyi baru. Syaratnya setiap kata modifikasi tesebut harus berakhir dengan huruf konsonan. Misalnya :
wedhok (Jawa. perempuan) = siwed (si + wed)
pergi = siper (si+ per)
makan = simak (si + mak)

c. Tambahan akhiran 'ong'
Penambahan akhiran ong adalah modifikasi sederhana lain yang sering juga digunakan. Penggunaannya dengan menyelesaikan/ mengasimilasi setiap suku kata terakhir dalam bahasa keseharian dengan bunyi ong dan setiap huruf vokal suku kata pertama menjadi bunyi /e/.
Misalnya :
homo —> hemong (ho + mo = -he + mong)
laki —> lekong (le + ki = -le + kong)

d. Tambahan sisipan 'in'
Di banding dengan modifikasi regular lainnya , sisipan 'in' sedikit lebih sulit dalam penerapannya. Setiap modifikasi sisipan 'in' setiap suku kata dibagi diasimilasikan dengan dengan sisipan bunyi 'in'. Misalnya :
lesbi —> lines bini (les + bi = -lines + bini)
homo —> hino mino (ho + mo = -hino + mino)

3. Metatesis.
Menurut Badudu (1985:64) gejala metatesis adalah gejala yang memperlihatkan pertukaran tempat satu atau beberapa fonem.
Misalnya :
almari menjadi lemari
berantas menjadi banteras
korsi menjadi krosi

E. Semantik Sebagai Kajian Makna
Kajian tetang semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna (arti, ingris: meaning). Istilah semantik baru muncul dan diperkenalkan melalui organisasi filologi Amerika (America Philological Assocition) tahun 1894 Goseriu dan Gecheler dalam Pateda (1985:3) menyatakan bahwa istilah semantik yang mulai populer tahun 50-an mula-mula diperkenalkan oleh Sarjana Prancis yang bernama M. Breal pada tahun 1883. Semantik sebagai disiplin ilmu muncul pada abad ke-19. Sematik sebagai kajian makna, yang terdapat dalam kalimat dan makna yang muncul dalam pembicaraan tentang kata yang disebut makna kata.
Pembicaraan dengan makna katapun menjadi objek semantik. Jadi merupakan bidang yang sangat luas tentang makna. Para ahli berpendapat semantik adalah studi tentang makna. Menurut mereka semantik mengamsusikan bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Menurut Pateda (1996:7) secara empiris sebelum seseorang berbicara dan ketika seseorang mendengar ujaran seseorang terjadi proses mental pada diri keduanya baik pada pembicara maupun pihak pendengar terjadi proses pemaknaan, dengan kata lain semantik berobjekkan makna.
Menurut George (1964) dalam Peteda (1996:7) semantik adalah bahasa yang terdiri dari struktur yang merupakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Sedangkan Verhaar (1988:32) mengatakan bahwa semantik berarti teori makna atau teori arti yang terdapat dalam kata. Menurut Parera (1982:16-18) Secara umum teori semantik tentang makna dibedakan atas:
1. Teori Refrensial yaitu makna sebuah kata cenderung semantik leksikal dalam arti makna yang ditujukan oleh kata itu, atau objek yang ditunjuk oleh objek.
2. Teori Kontekstual mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol ujaran mempunyai makna jika ia lepas dari konteks. Walaupun demikian ada pakar semantik yang berpendapat bahwa kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Dan kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Jadi begitu pentingnya konteks situasi dalam analisis makna.
3. Teori mentalisme atau konseptual yaitu makna adalah (konsep, ide, gagasan) yang ditambahkan oleh kata itu. Dalam arti sebuah kata adalah konsep atau gagasan yang berhubungan dengan kata tersebut.
4. Teori pemakiaan, adalah kata tidak mungkin digunakan dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Maka makna sebuah ujaran dibentuk oleh pengguna dalam masyarakat bahasa. Jadi jelas bahwa berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkankan semantik adalah studi yang mengkaji tentang makna yang berarti teori makna atau teori arti, makna kata, makna kalimat, makna ujar, makna harfiah, dan non harfiah.

F. Jenis Makna
Menurut Chaer (1994:289-296) ada bermacam- macam jenis makna dalam bidang semantik yaitu:
1. Makna Leksikal, Makna Gramatikal, dan Konseptual
Makna leksikal adalah makna yang memeliki atau ada pada kata tanpa konteks apapun. Contoh kata kuda memiliki makna leksikal sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai' Air bermakna leksikal 'sejenis benda cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-har'. Dengan demikian makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil indra kita atau makna apa adanya.
Makna Gramatikal adalah untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal, untuk menyatakan makna jamak bahasa Indonesia, menggunakan proses reduplikasi seperti kata: buku yang bermakna '2 buah buku,' menjadi buku-buku yang bermakna 'banyak buku'.

2. Makna Referensial dan Nonreferensial
Sebuah kata disebut bermakna refrensial kalau ada referensinya, atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, meja, kursi adalah termasuk kata- kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata seperti dan, atau, dan karen, termasuk kata yang tidak bermakna referensial, karena kata itu tidak mempunyai referensi.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah kata. Jadi makna denotatif ini sebenarnya sama dengan leksikal. Contoh kata babi bermakna denotatif ”sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif ”keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran normal”. Sedangkan makna konotatif makna yang tidak sebenarnya. Contoh kata babi pada contoh di atas, pada orang yang beragama islam atau di dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Kata kurus juga pada contoh di atas berkonotasi netral, artinya tidak memilki nilai rasa yang menyenangkan (unfavorable). Tetapi kata ramping yang sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif nilai rasa yang menyenangkan orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng yang juga sebenarnya bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu, mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak menyenangkan; orang merasa tidak senang kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
Dari contoh kurus, ramping dan kerempeng itu dapat disimpulkan, bahwa ketiga kata itu memiliki kata itu secara denotatif mempunyai makna yang sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memilki konotasi yang tidak sama. Kurus berkonotasi netral, ramping berkonotasi positif, dan kerempeng berkonotasi negatif.

4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Menurut Leech (1976) dalam chear (1994:147) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ”sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai” dan kata rumah memiliki makna konseptual ”bangunaan tempat tinggal manusia”. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama dengan makna leksikal, makna denotatif, dan mmakna referensial.

5. Makna Idiom
Makna idiom satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ’diramalkan’ dari makna unsur nya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, bentuk membanting tulang dengan bermakna ’bekerja keras’ termasuk idiom penuh. Beberapa jenis makna di atas dalam penelitian ini dibatasi pada makna leksikal mendaftarkan kata yang diucapkan oleh para waria. Semantik sebagai studi tentang makna, merupakan pusat studi tentang pemikiran manusia, yaitu berpikir kognisi yang berkaitan dengan mengklasifikasi dan menggambarkan pengalaman manusia tentang bahasa.
Pateda (1996:74) mengatakan Semantik leksikal adalah kajian semantik yang lebih memusatkan pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata. Verhaar (1988:74) mengatakan semantik leksikal adalah memperhatikan makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan yang terdapat di dalam kamus. Sedangkan Djajasudarman (1999:13) makna leksikal (bahasa Inggris- lexical meaning, semantic meaning, external meaning) adalah makna unsur- unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain, makna leksikal dimiliki unsur- unsure bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks.
Saeed (1997:55) mengatakan makna semantik adalah kata yang mengandung atau arti yang sebenarnya. Makna semantik dapat dibagi kedalam beberapa tipe, diantaranya:
a. Makna leksikal yang berbeda apabila diletakkan dalam konteks kalimat yang berbeda. Misalnya :
Bisa ular itu sangat mematikan
Pemerintah bisa mengatasi permasalahan itu
Dari kedua contoh di atas, jelas bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda sesuai dengan konteks kalimatnya.
b. Makna leksikal juga tergantung kepada kegunaan, fungsi dan bidang ilmu.
Contoh: Raw (mentah), memiliki arti yang berbeda apabila kita letakkan dalam konteks kalimat yang berbeda bidang ilmunya. Dengan kata yang sama, yaitu raw, tetapi menghasilkan makna kata yang berbeda khususnya dalam konteks bidang ilmu, seperti:
Raw; dapat diartikan sebagai tidak tercapainya kata sepakat di dalam bisnis, artinya kesepakatan bisnis tersebut mentah, dalam artian gagal
Raw fruit; dapat diartikan sebagai buah yang benar- benar mentah, belum dapat di makan.
Contoh lain seperti kata Kali, memiliki arti yang berbeda apabila kita letakkan dalam konteks kalimat yang berbeda bidang keilmuannya. Seperti :
Kali dalam bidang Matematika, 3 x 4 = 12
Kali dapat bermakna sungai dalam bahasa sehari- hari.
Jadi dari kedua kalimat diatas dapat disimpulkanbahwa semantik leksikal tergantung pada penggunaan, fungsi dalam bidang ilmu, dan kalimat tersebut akan berubah berdasakan konteks. Maka jelas semantik leksikal dapat berbeda berdasarkan penggunaan dan konteksnya.
Leech (2003:38) menyimpulkan tujuh tipe makna yaitu sebagai berikut:
1. Makna konseptual atau pengertian Isi yang logis, kognitif atau denotatif
2. Makna konotatif Yang dikomunikasikan dengan apa yang diacu oleh bahasa
3. Makna stilistika Yang dikomunikasikan dari keadaan sosial mengenai penggunaan bahasa
4. Makna afektif Yang terungkap dari pesan dan tingkah laku pembicara/ penulis
5. Makna refleksi Yang disampaikan melalui asosiasi dengan pengertian yang lain dari ungkapan yang sama
6. Makna kolokatif Yang disampaikan melalui asosiasi dengan kata yang cenderung terjadi pada lingkup kata yang lain
7. Makna thematik Yang dikomunikasikan dengan cara dimana pesannya disusun atas dasar urutan dan tekanan
Bardasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan semantik leksikal adalah mengkaji makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan yang terdapat di dalam kamus. Kamus yang relevan dengan pembahasan ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Bahasa Gaul karangan Debby Sahertian.
Secara linguistik bahasa gaul adalah bahasa Indonesia yang pada umumnya digunakan oleh para kalangan remaja, selebritis hingga para waria. Perbendaharaan kata dalam bahasa gaul diartikan dengan mencari arti dalam arti, arti perbendaharaan katanya, atau pemberian makna pada suatu fakta realita, atau keinginaan yang diungkapkan dalam hal tertentu serta selalu dimaknai dan dikuatkan dengan hal- hal yang sedang terjadi. Misalnya: kata cakrawala di dalam KBBI lengkung langit, sedangkan dalam kamus waria Cakap. Kata tawar di dalam makna KBBI tidak ada rasanya, kurang asin, kurang sedap (tt makanan); hambar, sedangkan dalam kamus waria tahu. Kata Capcai dalam KBBI masakan Cina, sedangkan dalam kamus waria Cepat. Berdasarkan contoh di atas kata cakrawala, kata tawar dan capcai terjadi perubahan makna KBBI, selain terjadi perubahan makna kata juga merujuk pada makna yang sama. Jadi jika dianalisis berdasarkan kata yang mereka ucapkan ternyata memiliki kaitan dengan makna sebenarnya, dengan demikian sekelompok waria dalam menggunakan bahasa tidak sembarangan tetapi ada pola tertentu berdasarkan makna secara leksikal.

G. Relasi Makna
Relasi adalah hubungan makna ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi) dan sebagainya, sebagai berikut:
1. Kebermaknaan
Sebuah kata disebut bermakna atau mempunyai arti apabila kata ini memenuhi satu konsep atau mempunyai rujukan (Parera 1991 : 18).

2. Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau itu mempunyai makna lebih dari satu (Chaer 1994 : 301). jadi polisemi adalah kata yang mengandung makna lebih dari satu atau ganda. Contoh: Kata kepala bermakna ; bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan, bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan, seperti kepala susu, kepala meja,dan kepala kereta api, bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, kepala paku dan kepala jarum dan Iain-lain.

3. Homonim
Homonim adalah dua kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama, maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata ujaran yang berlainan (Chaer 1994 : 302).

4. Homograf
Homograf mengacu pada bentuk ujaran yang sama otografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama, (Chaer, 1994 : 303). Dalam bahasa Indonesia bentuk-bentuk homograf hanya terjadi karena otografi untuk fonem /e/ dan fonem /#/ sama lambangnya yaitu huruf /e/, contoh homograf yang ada dalam bahasa Indonesia tidak banyak. Kata teras /#/ /teras/ yang maknanya ‘inti’ dan kata /teras/ yang maknanya bagian depan rumah; kata memerah /memerah/ yang berarti ‘melakukan perah’ dan kata memerah /memerah/ yang berarti ‘menjadi merah’.

5. Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan dengan satuan ujarann lainnya (Chaer,1994 : 297).Contoh: Kata buruk dan jelek, mati dan wafat, bunga dan kembang.

6. Antonim
Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara satu dengan yang lain (Chaer, 1994 : 305). Contoh: Kata bagus berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan kata kecil.

7. Hiponim
Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam maknanya bentuk ujaran yang lain (Chaer, 1994 : 305).

8. Ketaksaan
Menurut Chaer (1994 : 307) ketaksaan adalah gejala yang menunjukkan terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat diuraikan secara akurat.

9. Kemubaziran (Redundansi)
Menurut Chaer (1994 : 310) istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihan penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Ciri semantic ini dapat menandai makna kalimat dalam bahasa minangkabau. Makna kalimat yang mubajir mengandung makna berlebihan atau lebih dari yang diperlukan.

H. Perubahan Makna
Pertumbuhan atau perkembangan bahasa, makna suatu kata dapat mengalami perubahan-perubahan. Perubahan makna itu dapat dilihatkan dari bermacam-macam sudut. Di antara bermacam-macam peristiwa perubahan makna itu Keraf (1980 : 130-131) adalah :
1. Meluas adalah cakupan makna sekarang lebih luas dari pada makna yang dulu. Contoh kata bapak, ibu, saudara, dahulu digunakan untuk menyebut orang yang bertalian darah dengan kita. Tetapi sekarang kata bapak, ibu, saudara telah meluas maknanya.
2. Menyempit adalah cakupan makna dulu lebih luas dari pada makna sekarang.
3. Amelioratif adalah suatu proses perubahan makna, baru dirasakan lebih tinggi atau lebih baik nilainya dari makna dulu.
4. Peyoratif (kebalikan dari amelioratif) adalah suatu proses perubahan makna, makna baru dirasakan lebih rendah nilainya dari makna yang dulu. Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia kata bini dianggap baik pada zaman dulu, tetapi sekarang dirasakan kurang baik. Yang lebih baik adalah kata wanita sehingga ada kata wanita sarjana.
5. Sinestesia adalah perubahan makna akibat pertukaran tanggapan antara dua indera yang berlainan. Contoh katanya pedas,pedas sebenarnya tanggapan indera perasa. Suara sedap didengar, sedap sebenarnya tanggapan indra perasa. Pidatonya hambar, hambar juga sebenarnya merupakan kata yang dipakai untuk indera perasa.
6. Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena persamaan sifat. Catut, alat untuk mencabut paku, kemudian berdasarkan persamaan sifat ini dipakai untuk orang yang menjual barang-barang dengan harga tinggi. Menurut (Chaer, 1994 : 313) asosiasi adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain, yang berkenaan dengan bentuk itu, sehingga dengan demikian bila disebutkan ujaran itu maka yang dimaksud adalah suatu yang lain berkenaan dengan ujaran itu.

I. Sejarah Penggunaan Bahasa Gaul
Bahasa gaul sendiri sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980-an tetapi pada waktu itu istilah bahasa prokem (okem). Lalu bahasa tersebut diadopsi kemudian dimodifikasi sedemikian unik dan digunakan oleh orang-orang tertentu atau kalangan-kalangan tertentu saja. Pada awalnya bahasa prokem digunaakan oleh para preman yang kehidupanya dekat dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras. Banyak istilah-istilah baru yang mereka ciptakan dengan tujuan agar masyarakat awam atau orang luar komunitas mereka tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan atau yang telah mereka bicarakan. Mereka merancang kata-kata baru, mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran Pergaulan di kalang waria mengenal apa yang disebut dengan budaya teman sebaya (peer culture). Kelompok waria yang sebaya itu umumnya mempunyai nilai serta karakteristik budaya yang bebeda atau bahkan bertentangan dengan budaya orang lain. Dalam upayanya memisahkan diri dari budaya lingkungan sekitar, mereka membuat budaya tandingan, budaya yang khas waria (Alatas, 2006:59). Budaya khas waria ini kemudian menciptakan sebuah bahasa yang biasa digunakan oleh kaum waria untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa tersebut kemudian disebut dengan bahasa gaul, sesuai dengan pengertian awalnya yakni bahasa yang digunakan untuk berteman dan bersahabat di tengah masyarakat (KBBI,2008:296). Di kalangan waria sendiri kata ‘gaul’ ini memiliki prestise atau penilaian yang tinggi. Seseorang waria akan dikatakan gaul apabila ia memiliki sifat yang menarik, dan pergaulan yang luas. Jadi, seorang waria pasti akan merasa bangga apabila predikat ‘anak gaul’ dilekatkan padanya.
Menurut Wikipedia Indonesia “Bahasa gaul merupakan bentuk ragam bahasa yang digunakan oleh penutur remaja, waria untuk mengekspresikan gagasan dan emosinya.” Perkembangan teknologi informasi turut mendistribusikan penggunaan bahasa gaul ke lingkup yang lebih luas. Media komunikasi, khususnya yang membahas mengenai waria, dalam mengkomunikasikan informasi juga menggunakan bahasa gaul yang sedang menjadi trend atau populer di kalangan remaja sampai waria. Dewasa ini, bahasa gaul mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa gaul. Dalam konteks modern, bahasa gaul merupakan dialek bahasa Indonesia non-formal yang terutama digunakan sebagai bentuk percakapan seharihari dalam pergaulan dilingkungan sosial bahkan dalam media-media populer seperti tv, radio, dunia perfilman nasional, dan sering pula digunakan dalam bentuk publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja, selebritis hingga waria oleh majalah-majalah populer.
Sebuah artikel di Kompas yang ditulis Sahertian berjudul So What Gitu Loch..... (2006:15) menyatakan bahwa bahasa gaul atau bahasa prokem sebenarnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah- istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Oleh karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari. Kosakata bahasa gaul yang belakangan ini berkembang sering tidak beraturan dan cenderung tidak terumuskan. Bahkan tidak dapat diprediksi bahasa apakah yang berikutnya akan menjadi bahasa gaul.
Pada mulanya pembentukan bahasa slang, prokem, cant, argot, jargon, dan colloquial di dunia ini adalah berawal dari sebuah komunitas atau kelompok social tertentu yang berada di kelas atau golongan bawah (Alwasilah, 2006:29). Lambat laun oleh masyarakat akhirnya bahasa tersebut digunakan untuk komunikasi seharihari.
Kecenderungan masyarakat ataupun para pelajar menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari- hari semakin tinggi, dan lebih parah makin berkembangnya bahasa slank atau bahasa gaul yang mencampur adukkan bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Saat ini bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum. Bahasa gaul sering digunakan sebagai bentuk percakapan sehari- hari dalam pergaulan di lingkungan sosial bahkan dalam media populer separti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan digunakan sebagai publikasi yang ditujukan untuk kalangan waria, remaja oleh majalah- majalah remaja populer. Maka sebab itu, bahasa gaul dapat disimpulkan sebagai bahasa utama yang digunakan komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari- hari.
Seperti halnya bahasa lain, bahasa gaul juga mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut dapat berupa penambahan dan pengurangan kosakata. Tidak sedikit kata-kata yang akan menjadi kuno (usang) yang disebabkan oleh perkembangan zaman. Setiap generasi akan memiliki ciri tersendiri sebagai identitas yang membedakan dari kelompok lain. Dalam hal ini, bahasalah sebagai representatifnya. Dari segi fungsinya, bahasa gaul memiliki persamaan antara slang, dan prokem. Kosa kata bahasa remaja banyak diwarnai oleh bahasa prokem, bahasa gaul, dan istilah yang pada tahun 1970-an banyak digunakan oleh para pengguna narkoba (narkotika, obat-obatan dan zat adiktif). Hampir semua istilah yang digunakan bahasa rahasia di antara mereka yang bertujuan untuk menghindari campur tangan orang lain. Bahasa gaul merupakan bentuk bahasa tidak resmi (Nyoman Riasa, 2006).
Waria adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek social transgenderisme. Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan biologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksualitas), maupun akibat pengondisian lingkungan pergaulan. Sebutan bencong juga dikenakan terhadap waria dan bersifat negatif.
Dalam sebuah milis (2006) disebutkan bahwa bahasa gaul memiliki sejarah sebelum penggunaannya populer seperti sekarang ini. Sebagai bahan teori, berikut adalah sejarah kata bahasa gaul tersebut:
1). Nih Yee...
Ucapan ini terkenal di tahun 1980-an, tepatnya November 1985. pertama kali yang mengucapkan kata tersebut adalah seorang pelawak bernama Diran. Selanjutnya dijadikan bahan lelucon oleh Euis Darliah dan popular hingga saat ini.
2) Memble dan Kece
Dalam milis tersebut dinyatakan bahwa kata memble dan kece merupakan kata-kata ciptaan khas Jaja Mihardja. Pada tahun 1986, muncul sebuah film berjudul Memble tapi Kece yang diperankan oleh Jaja Mihardja ditemani oleh Dorce Gamalama.
3) Bow....
Kata ini popular pada pertengahan awal 1990-an. Penutur pertama kata Bow…adalah grup GSP yang beranggotakan Hennyta Tarigan dan Rina Gunawan. Kemudian kata-kata dilanjutkan oleh Lenong Rumpi dan menjadi popular di lingkungan pergaulan kalangan artis. Salah seorang artis bernama Titi DJ kemudian disebut sebagai artis yang benar-benar mempopulerkan kata ini.
4) Nek...
Setelah kata Bow... popular, tak lama kemudian muncul kata-kata Nek... yang dipopulerkan anak-anak SMA di pertengahan 90-an. Kata Nek... pertama kali di ucapkan oleh Budi Hartadi seorang remaja di kawasan kebayoran yang tinggal bersama neneknya. Oleh karena itu, lelaki yang latah tersebut sering mengucapkan kata Nek...
5) Jayus
Pada akhir dekade 90-an dan awal abad 21, ucapan jayus sangat popular. Kata ini dapat berarti sebagai ‘lawakan yang tidak lucu’, atau ‘tingkah laku yang disengaja untuk menarik perhatian, tetapi justru membosankan’. Kelompok yang pertama kali mengucapkan kata ini adalah kelompok anak SMU yang bergaul di Kitaran Kemang. Asal mula kata ini dari Herman Setiabudhi. Dirinya dipanggil oleh temantemannya Jayus. Hal ini karena ayahnya bernama Jayus Kelana, seorang pelukis di kawasan Blok M. Herman atau Jayus selalu melakukan hal-hal yang aneh-aneh dengan maksud mencari perhatian, tetapi justru menjadikan bosan teman-temannya.
Salah satu temannya bernama Sonny Hassan atau Oni Acan sering memberi komentar jayus kepada Herman. Ucapan Oni Acan inilah yang kemudian diikuti temantemannya di daerah Sajam, Kemang lalu kemudian merambat populer di lingkungan anak-anak SMU sekitar.
6) Jaim
Ucapan jaim ini di populerkan oleh Bapak Drs. Sutoko Purwosasmito, seorang pejabat di sebuah departemen, yang selalu mengucapkan kepada anak buahnya untuk menjaga tingkah laku atau menjaga image.
7) Gitu Loh...(GL)
Kata GL pertama kali diucapin oleh Gina Natasha seorang remaja SMP di kawasan Kebayoran. Gina mempunyai seorang kakak bernama Ronny Baskara seorang pekerja event organizer. Sedangkan Ronny punya teman kantor bernama Siska Utami. Suatu hari Siska bertandang ke rumah Ronny. Ketika dia bertemu Gina, Siska bertanya dimana kakaknya, lantas Gina ngejawab di kamar, Gitu Loh. Esoknya si Siska di kantor ikut-ikutan latah dia ngucapin kata Gitu Loh...di tiap akhir pembicaraan.

J. Pembagian Bahasa Gaul
Semua kelompok sosial di dalam masyarakat mempunyai potensi untuk mempunyai bahasa dengan ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan kelompok lain. Dengan kata lain, setiap kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat memiliki variasi atau ragam bahasa tersendiri didasarkan atas perbedaan faktor-faktor sosial, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya. Pengujar bahasa gaul umumnya adalah para remaja, kaum selebritis dan waria. Seperti penjelasan yang telah dipaparkan oleh penulis sebelumnya bahwa penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya, penulis juga mencoba melanjutkan penelitian terhadap bahasa gaul dengan meneruskan penelitian yang telah dilakukan oleh Sondang Manik (2004) yang membagi bahasa gaul kedalam dua bagian, yakni bahasa gaul umum dan bahasa gaul khusus.
1. Bahasa Gaul Umum
Bahasa gaul umum adalah bahasa yang sering digunakan oleh muda-mudi, khususnya yang tinggal di daerah perkotaan untuk bertemu atau bersahabat di tengah masyatakat. Bahasa gaul umum banyak ditemukan pada sinetron-sinetron di TV, majalah-majalah dan tabloid remaja.

2. Bahasa Gaul Khusus
Variasi atau ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok orang akan dinilai baik apabila masyarakat memberikan penilaian yang tinggi atau baik terhadap para penuturnya. Nilai tinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap penutur itu memberikan prestise kepada ragam bahasanya, lebih dari ragam-ragam lain yang digunakan oleh golongan lain, begitu juga dengan bahasa gaul khusus yang pada awalnya merupakan bahasa rahasia antar sesama kaum waria. Penilaian masyarakat yang buruk terhadap kaum waria juga memberikan nilai buruk terhadap ragam bahasanya, hal inilah yang kemudian memacu penilaian bahwa setiap orang yang menggunakan bahasa kaum waria sama buruknya dengan komunitas penuturnya (Kaveriana, 1996:18) namun seiring dengan masuknya ragam bahasa waria ini ke dalam lingkungan selebritis yang di bawa oleh para waria yang hampir sebagian besar berprofesi sebagai penata rias artis.
Sedikit demi sedikit penilaian masyarakat berubah terhadap ragam bahasa waria tersebut. Anggapan masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan bahwa artis merupakan idola, pembawa trend, dan memiliki pergaulan yang luas membuat masyarakat, terutama masyarakat kalangan muda berlomba-lomba meniru apa saja yang dilakukan oleh artis pujaanya termasuk menggunakan bahasa yang mereka pakai dalam berkomunikasi agar mereka juga dikatakan sebagai anak gaul dan tidak ketinggalan zaman. Hal inilah yang kemudian memicu bergantinya nama ragam bahasa rahasia di kalangan waria tersebut menjadi bahasa gaul.
Bahasa gaul khusus tidak memliki sistem yang teratur dalam penciptaan katakatanya, hanya saja pola dasar kalimatnya sama dengan bahasa gaul umum karena sama-sama digunakan dalam siuasi non formal. Bahasa gaul khusus dapat dikategorikan sebagai bahasa rahasia, karena hanya digunakan oleh sekelompok orang tertentu, terutama kaum waria untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa gaul khusus ini pasti akan berubah kerahasiannya apabila telah dimengerti dan dipakai oleh banyak orang secara umum dalam komunikasi sehari-hari.
Penggunaan bahasa gaul di kalangan muda yang semakin tinggi intensitasnya membuat istilah kosakata dalam bahasa gaul tersebut semakin bertambah dan perumusnya menjadi tidak tetap. Istilah-istilah yang unik tersebut kemudian diangkat oleh Debby Sahertian dan dibuat menjadi sebuah buku dengan judul Kamus Bahasa Gaul (Kamasutra Bahasa Gaul).

Buku Sumber
Alwasilah, A. Chaedar. 1986. Sosiologi bahasa. Bandung. Angkasa.
Chaer, A dan Leoni A. 2004.Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Fishman, Joshua A.1972. The Sosiology of Language. Massachussetts: Newbury House Publisher.
Hudson, R.A.1980. Sosiolinguistics. London: Cambridge University Press
Nababan, P.W.J. 1984. Sosioliguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.

Sosiolinguistik, Suatu Tinjauan Deskriptif

A. Pengertian Sosiolinguistik
Secara umum sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum yaitu sebagai alat komunikasi. Sosiolingistik lazim didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa serta hubungan diantara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, 1978:94), Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan pengunaan bahasa karena ketiga unsur ini berinteraksi dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam linguistik. Berdasarkan teori Platt dalam (Siregar dkk 1998:54) berpendapat bahwa dimensi identitas sosial merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa di dalam masyarakat yang multilingual, dimensi ini mencakup kesukaran, umur, jenis kelamin, tingkat dan sarana pendidikan dan latar sosial ekonomi. Sedangkan Nababan (1994:2) mengatakan bahwa pengkajian-pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik. Sosiolinguistik memfokuskan penelitian pada variasi ujaran dan mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor- faktor sosial itu dengan variasi bahasa.
Berdasarkan pengertian menurut para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang erat kaitannya dengan sosiologi, hubungan antara bahasa dengan faktor- faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur serta mengkaji tentang ragam dan variasi bahasa.
Selanjutnya ada tujuh dimensi yang merupakan penelitian sosiolinguistik yaitu: (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. (Chaer, 2004:5).
Identitas sosial dari penutur dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tuturnya. Maka, identitas penutur dapat berupa anggota keluarga. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilih kode dalam bertutur. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di perpustakaan, di perkuliahan, di pinggir jalan hingga di lingkungan para waria. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur. Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, sedangkan dilingkungan para waria berbicara dalam mengunakan bahasa dalam kelompok tertentu dengan bahasa yang sering mereka gunakan, seperti ragam bahasa gaul.
Tingkatan variasi dan ragam linguistik, bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi, manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat beragam yang memiliki fungsi sosialnya masing- masing.
Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengindentifikasi diri (Chaer, 2004:1). Hal ini memberi gambaran bahwa bahasa adalah berupa bunyi yang digunakan oleh rnasyarakat untuk berkornunikasi. Keraf (1991:1) mengatakan bahwa bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa arus bunyi, yang mempunyai makna. Menerangkan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat terdiri atas dua bagian utama yaitu bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Sapir (1921) dalam Sibarani (2004:36) mengatakan bahwa bahasa adalah metode atau alat penyampaian ide, perasaan, dan keinginan yang sungguh manusiawi dan noninstingtif dengan mempergunakan sistem simbol- simbol yang dihasilkan dengan sengaja dan suka rela. Sedangkan menurut Sibarani (2004:37) Bahasa adalah bahasa sebagai system tanda atau sistem lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat.
Menurut pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa bentuk dan makna, sistem tanda atau system lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat untuk mengindenfikasi diri dalam makna yang berkaitan dengan penggunaan bahasa yang terdapat dalam kata yang diucapkan.
Indonesia adalah Negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka pengunaan bahasa Indonesia juga beragam. Apabila beberapa orang berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dipahami, pertama yang terdengar adalah berbagai bunyi dan berselang- seling dan rumit sekali. Ketika ingin semakin akrab dengan bahasa itu bunyi yang berselang- seling tadi berubah menjadi bunyi yang dapat dibedakan. Tiap bahasa memiliki aturan-aturan sendiri yang menguasai bunyi- bunyi dan urutan- urutannya, kata dan bentukan- bentuknya, kalimat dan susunannya.
Indonesia adalah Negara yang multilingual. Selain bahasa Indonesia yang digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah , besar maupun kecil, yang digunakan oleh para anggota masyarakat bahasa daerah itu untuk keperluan yang bersifat kedaerahan, tetapi di samping itu banyak pula yang hanya menguasai satu bahasa, namun ada pula yang menguasai dwi bahasa (bilingual) atau lebih dari dua bahasa (multi lingual).
Sebagai sebuah subjek kajian bahasa gaul merupakan suatu fenomena penciptaan bahasa yang berbeda namun berlaku dikalangan pengguna bahasa karena seperti yang kita ketahui bahwa bahasa memiliki salah satu sifat yang arbitrer bias diartikan sewenang-wenang, berubah ubah, tidak tetap, dan mana suka. Keraf (1991 : 16) menyatakan bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Dalam praktek kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari simbol dan alat komunikasi. Bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi serta penyampaiannya segala sesuatu dalam bentuk lisan kepada sesama manusia. Dalam pergaulan sehari- hari di berbagai kalangan mengakui adanya pluralitas orientasi seksual dikenal adanya penggunaan bahasa gaul di sekelompok waria yang secara budaya dan pengucapan menunjukkan kreasi dan kegairahan mereka tanpa menjadi terjebak pada penyeragaman bahasa yang monoton dan tidak berkembang.
Berbicara mengenai bahasa tidak hanya membicarakan satu jenis bahasa, tentu banyak pula ragamnya yang berdasarkan konteks situasi dimana mereka menggunakan bahasa yang mereka anggap sebagai alat komunikasi yang sering digunakan dalam kelompok mareka, salah satu bahasa yang digunakan ialah ragam bahasa gaul pada kalangan waria. Ragam bahasa yang disikapi dalam pengertian ini adalah fenomena bahasa pada kalangan waria. Dalam hal ini ragam bahasa yang digunakan seseorang dalam situasi non formal pada orang yang sama akan menukar bahasa tertentu, umpamanya membicarakan masalah adat di daerahnya, maka akan disesuaikan dengan bahan dan bahasa yang tepat. Begitu pula tentang bahasa pada kalangan waria yang ada di jalan Gajah Mada Medan.

B. Konteks dan Situasi
Menurut Poerwadarminta(2008:156) pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, konteks diartikan sebagai bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna. Istilah konteks dan situasi sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa. Walau kata konteks dan situasi sering diiringi penggunaannya, sebaliknya diadakan juga perbedaan antara kedua kata itu. Kata- kata pada satu bahasa yang dapat kita pahami tanpa mengenal konteksnya.
Fishmam (dalam Tarigan, 3:1988) beserta pakar sosiolinguistik lainnya sangat yakin bahwa maksud dan tujuan penggunaan satu atau dua bahasa sangat beraneka ragam dan barbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya dari orang ke orang bergantung pada topik, penyimak dan konteks. Berdasarkan penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalurnya, dan alatnya serta bagaimana situasi keformalannya.
Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh bahasa. Bahsa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status apakah ia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pemersatu, atau bahasa negara. Kridalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaanya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pengungkapan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaannya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut.
Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada penggunaan bahasa dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persurat kabaran), kesusastraan, dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku dalam pembicaraan atau gaya penuturan menunjuk pada situasi formal atau informal. Medium pengungkapan dapat berupa sarana atau cara penggunaan bahasa, misalnya bahasa lisan dan bahasa tulis, masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-ciri tertentu, sehingga ragam yang satu berbeda dengan ragam yang lain.
Penggunaan ragam bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi penggunanya. Hal ini mengindifikasikan bahwa kebutuhan manusia terhadap sarana komunikasi juga bermacam-macam. Untuk itu, kebutuhan sarana komunikasi bergantung pada situasi pembicaraan yang berlangsung. Dengan adanya keaneka ragaman bahasa di dalam masyarakat, kehidupan bahasa dalam masyarakat dapat diketahui, misalnya berdasarkan jenis pendidikan atau jenis pekerjaan seseorang, bahasa yang digunakan memperlihatkan perbedaan.
Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasai perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa termasuk bahasa gaul di kalangan waria menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing, menghendaki kesesuaian bahasa yang digunakan.

C. Ragam Bahasa
Manusia merupakan mahluk sosial, manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama. Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat secara individu. Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas diri dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari kelompok social tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda. Adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang dipergunakan beragam. Keragaman bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, ragam bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam. Dalam ragam bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. ragam bahasa juga dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pengguna, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan penggunaan ragam bahasa (Pateda dalam Chaer 1987: 52).
Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa beragam, yang dimaksud dengan tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik seperti di jalan, di Mall, hingga di lingkungan para waria. Dari segi penggunaannya, bahasa dapat menimbulkan keberagaman juga, istilah penggunaan di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Sedangkan ragam bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang digunakan dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kestandartan ini disebabkan oleh situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.
Ragam bahasa gaul ditinjau dari ilmu folklore adalah salah satu bentuk (genre) foklor yang disebut ”ujaran rakyat” (folk speech). Slang ini dapat berupa satu kalimat, tetapi dapat juga terdiri sebuah kata yang tidak lazim di dalam bahasa nasional Indonesia yang resmi.
Bahasa Slang oleh Kridalaksana (1982:156) dirumuskan sebagai ragam bahasa yang tidak resmi digunakan oleh kaum remaja, serta waria atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha orang di luar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosa kata yang serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan pendapat Alwasilah (1985:57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang bercirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, digunakan oleh kaum muda atau kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi di dalamnya.
Slang digunakan sebagai bahasa pergaulan. Kosakata slang dapat berupa pemendekan kata, penggunaan kata diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Disamping itu slang juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang lazim digunakan di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang berbeda makna sebenarnya dipertegas lagi kedalam bentuk.
Slang ini selanjutnya dapat dipertegas lagi ke dalam bentuk cant, yaitu bahasa gaul yang diucapkan dengan nada atau intonasi tertentu sehingga terasa ringan, lucu, dan ekspresif cocok untuk suasana santai yang bersifat rahasia. Sedangkan cant yang khusus dipergunakan oleh para penjahat atau preman dikenal dengan istilah Argot menurut Kridalaksana (1982:14) bahasa dan perbendaharaan kata suatu kelompok orang, seperti bahasa pencopet. Sedangkan menurut Chear (1995:80) Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi- profesi tertentu dan bersifat rahasia. Kelompok yang dimaksud disini adalah kelompok orang muda (orang yang merasa dirinya muda), maka yang sesuai dengan penelitian adalah bahasa Cant yang berfungsi sebagai bahasa dari sekelompok orang atau kalangan tertentu terutama pada kelompok remaja dan waria. Pada tahun 1940-an cant tersebut berbentuk penggantian suku kata (syllable) terakhir dari suatu kata dari suatu kata dengan ”se”. Sebagai contoh kata genis menjadi gense. Namun pada tahun 1980-an para pemuda usia ini mengambil alih bahasa prokem yang berasal dari para penjahat atau preman di Jakarta. Jadi ujaran rakyat kelompok usia muda sejak itu telah mengubah slang nya dari sifat cant menjadi argot. Bahasa prokem ini kemudian telah berhasil menjadikan dirinya menjadi bahasa lisan dari orang Indonesia pada umumnya di daerah perkotaan.
Bahasa pada kalangan homoseksual (gay dan lesbian) sangat menarik karena para homoseksual menciptakan cant tersendiri untuk kelompoknya. Bahasa para gay dan lesbian ini juga tidak langgeng, karena pada beberapa tahun ini telah timbul jenis cant gay yang lain lagi, yang mereka namakan bahasa gaul. Bahasa gaul saat ini semakin ngetop dan ngetrend, sehingga diambil alih juga oleh para remaja dan orang muda dari kalangan pengusaha, artis, film sinetron, mahasiswa dan lain- lain.
Bahasa para gay dan lesbian ini pada beberapa tahun yang lalu, adalah cant dengan cara menyisipkan suku kata ”in”, seperti untuk banci menjadi binancini, sedangakan untuk istilah bule menjadi binuline, dan sebagainya. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari, kalagan yang mengakui adanya prularitas orientasi seksual dikenal adanya pengguaan bahasa gaul yang secara budaya dan pengucapan mempertunjukkan kreasi dan kegairahan mereka tanpa menjadi terjebak pada penyeragaman bahasa yang membosankan, tanpa daya pikir, anti-kenikmatan dan mentabukan seksual. Sebaliknya mereka aktif menciptakan keragaman, merangsang gairah- gairah (pengucapan) oral mereka selalu aktif menciptakan dan menciptakan literatur yang lebih terbuka pada kesenangan para gay dan lesbian.
Secara permukaan dimarjinalkan, masyarakat secara aktif mengagungkan satu orientasi seksual yang sakral mengadopsinya dalam bahasa keseharian mereka (contoh: ”bencong”) di bawah ini adalah penjelasan singkat bagaimana kreativitas bahasa itu diekspresikan dalam keberagaman, yang disebut bentuk bahasa ”binan” waria. Bahasa gaul khusus yang diciptakan para waria khususnys di jalan Gajah Mada Medan dalam berkomunikasi sesama kelompok termasuk kedalam gejala bahasa.

D. Gejala Bahasa
Menurut Badudu (1985:47) gejala bahasa adalah peristiwa yang menyangkut bentuk kata atau kalimat dengan secara macam proses pembentukannya. Beberapa gejala bahasa yang digunakan dalam proses pembentukan kata dalam bahasa gaul khusus adalah penghilangan fonem, penambahan fonem dan metatesis dapat dilihat sebagai berikut:
1. Penghilangan Fonem
Gejala penghilangan fonem bahasa gaul khusus tidak banyak ditemukan, karena bahasa gaul khusus lebih banyak penambahan.
2. Penambahan Fonem
Gejala penanbahan fonem banyak ditemukan dalam proses pembentukan kata dalam bahasa gaul khusus. Gejala penambahan fonem terjadi gejala bahasa yang menyimpang. sebagai contoh yaitu:
a. Tambahan awalan 'ko'
Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam bahasa okem. Caranya, setiap kata dasar, yang diambil hanya suku kata pertamanya. Tapi suku kata pertama ini huruf terakhirnya harus konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil bukannya pre tapi prem. Setelah itu tambahi awalan ko, maka jadi koprem. Kata koprem ini kemudian dimodifikasi dengan menggonta-ganti posisi konsonan sehingga prokem. Dengan gaya bicara anak kecil yang baru bisa bicara, kata prokem lalu mengalami perubahan bunyi jadi okem.
Misalnya :
mati —> komat —> (ko + mat) = mokat
bisa —> kobis —> (ko + bis) = bokis
beli —> kobel —> (ko + bel) = bokel

b. Tambah awalan 'si'
Awalan si biasanya digunakan oleh waria di Jawa Timur. Cara penggunaannya dengan menambahkan kata si pada setiap kata yang digunakan dengan terlebih dahulu memenggal suku kata pertama dari suku kata belakang, sehingga menghasilkan bunyi baru. Syaratnya setiap kata modifikasi tesebut harus berakhir dengan huruf konsonan. Misalnya :
wedhok (Jawa. perempuan) = siwed (si + wed)
pergi = siper (si+ per)
makan = simak (si + mak)

c. Tambahan akhiran 'ong'
Penambahan akhiran ong adalah modifikasi sederhana lain yang sering juga digunakan. Penggunaannya dengan menyelesaikan/ mengasimilasi setiap suku kata terakhir dalam bahasa keseharian dengan bunyi ong dan setiap huruf vokal suku kata pertama menjadi bunyi /e/.
Misalnya :
homo —> hemong (ho + mo = -he + mong)
laki —> lekong (le + ki = -le + kong)

d. Tambahan sisipan 'in'
Di banding dengan modifikasi regular lainnya , sisipan 'in' sedikit lebih sulit dalam penerapannya. Setiap modifikasi sisipan 'in' setiap suku kata dibagi diasimilasikan dengan dengan sisipan bunyi 'in'. Misalnya :
lesbi —> lines bini (les + bi = -lines + bini)
homo —> hino mino (ho + mo = -hino + mino)

3. Metatesis.
Menurut Badudu (1985:64) gejala metatesis adalah gejala yang memperlihatkan pertukaran tempat satu atau beberapa fonem.
Misalnya :
almari menjadi lemari
berantas menjadi banteras
korsi menjadi krosi

E. Semantik Sebagai Kajian Makna
Kajian tetang semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna (arti, ingris: meaning). Istilah semantik baru muncul dan diperkenalkan melalui organisasi filologi Amerika (America Philological Assocition) tahun 1894 Goseriu dan Gecheler dalam Pateda (1985:3) menyatakan bahwa istilah semantik yang mulai populer tahun 50-an mula-mula diperkenalkan oleh Sarjana Prancis yang bernama M. Breal pada tahun 1883. Semantik sebagai disiplin ilmu muncul pada abad ke-19. Sematik sebagai kajian makna, yang terdapat dalam kalimat dan makna yang muncul dalam pembicaraan tentang kata yang disebut makna kata.
Pembicaraan dengan makna katapun menjadi objek semantik. Jadi merupakan bidang yang sangat luas tentang makna. Para ahli berpendapat semantik adalah studi tentang makna. Menurut mereka semantik mengamsusikan bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Menurut Pateda (1996:7) secara empiris sebelum seseorang berbicara dan ketika seseorang mendengar ujaran seseorang terjadi proses mental pada diri keduanya baik pada pembicara maupun pihak pendengar terjadi proses pemaknaan, dengan kata lain semantik berobjekkan makna.
Menurut George (1964) dalam Peteda (1996:7) semantik adalah bahasa yang terdiri dari struktur yang merupakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Sedangkan Verhaar (1988:32) mengatakan bahwa semantik berarti teori makna atau teori arti yang terdapat dalam kata. Menurut Parera (1982:16-18) Secara umum teori semantik tentang makna dibedakan atas:
1. Teori Refrensial yaitu makna sebuah kata cenderung semantik leksikal dalam arti makna yang ditujukan oleh kata itu, atau objek yang ditunjuk oleh objek.
2. Teori Kontekstual mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol ujaran mempunyai makna jika ia lepas dari konteks. Walaupun demikian ada pakar semantik yang berpendapat bahwa kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Dan kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Jadi begitu pentingnya konteks situasi dalam analisis makna.
3. Teori mentalisme atau konseptual yaitu makna adalah (konsep, ide, gagasan) yang ditambahkan oleh kata itu. Dalam arti sebuah kata adalah konsep atau gagasan yang berhubungan dengan kata tersebut.
4. Teori pemakiaan, adalah kata tidak mungkin digunakan dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Maka makna sebuah ujaran dibentuk oleh pengguna dalam masyarakat bahasa. Jadi jelas bahwa berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkankan semantik adalah studi yang mengkaji tentang makna yang berarti teori makna atau teori arti, makna kata, makna kalimat, makna ujar, makna harfiah, dan non harfiah.

F. Jenis Makna
Menurut Chaer (1994:289-296) ada bermacam- macam jenis makna dalam bidang semantik yaitu:
1. Makna Leksikal, Makna Gramatikal, dan Konseptual
Makna leksikal adalah makna yang memeliki atau ada pada kata tanpa konteks apapun. Contoh kata kuda memiliki makna leksikal sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai' Air bermakna leksikal 'sejenis benda cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-har'. Dengan demikian makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil indra kita atau makna apa adanya.
Makna Gramatikal adalah untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal, untuk menyatakan makna jamak bahasa Indonesia, menggunakan proses reduplikasi seperti kata: buku yang bermakna '2 buah buku,' menjadi buku-buku yang bermakna 'banyak buku'.

2. Makna Referensial dan Nonreferensial
Sebuah kata disebut bermakna refrensial kalau ada referensinya, atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, meja, kursi adalah termasuk kata- kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata seperti dan, atau, dan karen, termasuk kata yang tidak bermakna referensial, karena kata itu tidak mempunyai referensi.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah kata. Jadi makna denotatif ini sebenarnya sama dengan leksikal. Contoh kata babi bermakna denotatif ”sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif ”keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran normal”. Sedangkan makna konotatif makna yang tidak sebenarnya. Contoh kata babi pada contoh di atas, pada orang yang beragama islam atau di dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Kata kurus juga pada contoh di atas berkonotasi netral, artinya tidak memilki nilai rasa yang menyenangkan (unfavorable). Tetapi kata ramping yang sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif nilai rasa yang menyenangkan orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng yang juga sebenarnya bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu, mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak menyenangkan; orang merasa tidak senang kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
Dari contoh kurus, ramping dan kerempeng itu dapat disimpulkan, bahwa ketiga kata itu memiliki kata itu secara denotatif mempunyai makna yang sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memilki konotasi yang tidak sama. Kurus berkonotasi netral, ramping berkonotasi positif, dan kerempeng berkonotasi negatif.

4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Menurut Leech (1976) dalam chear (1994:147) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ”sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai” dan kata rumah memiliki makna konseptual ”bangunaan tempat tinggal manusia”. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama dengan makna leksikal, makna denotatif, dan mmakna referensial.

5. Makna Idiom
Makna idiom satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ’diramalkan’ dari makna unsur nya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, bentuk membanting tulang dengan bermakna ’bekerja keras’ termasuk idiom penuh. Beberapa jenis makna di atas dalam penelitian ini dibatasi pada makna leksikal mendaftarkan kata yang diucapkan oleh para waria. Semantik sebagai studi tentang makna, merupakan pusat studi tentang pemikiran manusia, yaitu berpikir kognisi yang berkaitan dengan mengklasifikasi dan menggambarkan pengalaman manusia tentang bahasa.
Pateda (1996:74) mengatakan Semantik leksikal adalah kajian semantik yang lebih memusatkan pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata. Verhaar (1988:74) mengatakan semantik leksikal adalah memperhatikan makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan yang terdapat di dalam kamus. Sedangkan Djajasudarman (1999:13) makna leksikal (bahasa Inggris- lexical meaning, semantic meaning, external meaning) adalah makna unsur- unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain, makna leksikal dimiliki unsur- unsure bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks.
Saeed (1997:55) mengatakan makna semantik adalah kata yang mengandung atau arti yang sebenarnya. Makna semantik dapat dibagi kedalam beberapa tipe, diantaranya:
a. Makna leksikal yang berbeda apabila diletakkan dalam konteks kalimat yang berbeda. Misalnya :
Bisa ular itu sangat mematikan
Pemerintah bisa mengatasi permasalahan itu
Dari kedua contoh di atas, jelas bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda sesuai dengan konteks kalimatnya.
b. Makna leksikal juga tergantung kepada kegunaan, fungsi dan bidang ilmu.
Contoh: Raw (mentah), memiliki arti yang berbeda apabila kita letakkan dalam konteks kalimat yang berbeda bidang ilmunya. Dengan kata yang sama, yaitu raw, tetapi menghasilkan makna kata yang berbeda khususnya dalam konteks bidang ilmu, seperti:
Raw; dapat diartikan sebagai tidak tercapainya kata sepakat di dalam bisnis, artinya kesepakatan bisnis tersebut mentah, dalam artian gagal
Raw fruit; dapat diartikan sebagai buah yang benar- benar mentah, belum dapat di makan.
Contoh lain seperti kata Kali, memiliki arti yang berbeda apabila kita letakkan dalam konteks kalimat yang berbeda bidang keilmuannya. Seperti :
Kali dalam bidang Matematika, 3 x 4 = 12
Kali dapat bermakna sungai dalam bahasa sehari- hari.
Jadi dari kedua kalimat diatas dapat disimpulkanbahwa semantik leksikal tergantung pada penggunaan, fungsi dalam bidang ilmu, dan kalimat tersebut akan berubah berdasakan konteks. Maka jelas semantik leksikal dapat berbeda berdasarkan penggunaan dan konteksnya.
Leech (2003:38) menyimpulkan tujuh tipe makna yaitu sebagai berikut:
1. Makna konseptual atau pengertian Isi yang logis, kognitif atau denotatif
2. Makna konotatif Yang dikomunikasikan dengan apa yang diacu oleh bahasa
3. Makna stilistika Yang dikomunikasikan dari keadaan sosial mengenai penggunaan bahasa
4. Makna afektif Yang terungkap dari pesan dan tingkah laku pembicara/ penulis
5. Makna refleksi Yang disampaikan melalui asosiasi dengan pengertian yang lain dari ungkapan yang sama
6. Makna kolokatif Yang disampaikan melalui asosiasi dengan kata yang cenderung terjadi pada lingkup kata yang lain
7. Makna thematik Yang dikomunikasikan dengan cara dimana pesannya disusun atas dasar urutan dan tekanan
Bardasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan semantik leksikal adalah mengkaji makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan yang terdapat di dalam kamus. Kamus yang relevan dengan pembahasan ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Bahasa Gaul karangan Debby Sahertian.
Secara linguistik bahasa gaul adalah bahasa Indonesia yang pada umumnya digunakan oleh para kalangan remaja, selebritis hingga para waria. Perbendaharaan kata dalam bahasa gaul diartikan dengan mencari arti dalam arti, arti perbendaharaan katanya, atau pemberian makna pada suatu fakta realita, atau keinginaan yang diungkapkan dalam hal tertentu serta selalu dimaknai dan dikuatkan dengan hal- hal yang sedang terjadi. Misalnya: kata cakrawala di dalam KBBI lengkung langit, sedangkan dalam kamus waria Cakap. Kata tawar di dalam makna KBBI tidak ada rasanya, kurang asin, kurang sedap (tt makanan); hambar, sedangkan dalam kamus waria tahu. Kata Capcai dalam KBBI masakan Cina, sedangkan dalam kamus waria Cepat. Berdasarkan contoh di atas kata cakrawala, kata tawar dan capcai terjadi perubahan makna KBBI, selain terjadi perubahan makna kata juga merujuk pada makna yang sama. Jadi jika dianalisis berdasarkan kata yang mereka ucapkan ternyata memiliki kaitan dengan makna sebenarnya, dengan demikian sekelompok waria dalam menggunakan bahasa tidak sembarangan tetapi ada pola tertentu berdasarkan makna secara leksikal.

G. Relasi Makna
Relasi adalah hubungan makna ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi) dan sebagainya, sebagai berikut:
1. Kebermaknaan
Sebuah kata disebut bermakna atau mempunyai arti apabila kata ini memenuhi satu konsep atau mempunyai rujukan (Parera 1991 : 18).

2. Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau itu mempunyai makna lebih dari satu (Chaer 1994 : 301). jadi polisemi adalah kata yang mengandung makna lebih dari satu atau ganda. Contoh: Kata kepala bermakna ; bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan, bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan, seperti kepala susu, kepala meja,dan kepala kereta api, bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, kepala paku dan kepala jarum dan Iain-lain.

3. Homonim
Homonim adalah dua kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama, maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata ujaran yang berlainan (Chaer 1994 : 302).

4. Homograf
Homograf mengacu pada bentuk ujaran yang sama otografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama, (Chaer, 1994 : 303). Dalam bahasa Indonesia bentuk-bentuk homograf hanya terjadi karena otografi untuk fonem /e/ dan fonem /#/ sama lambangnya yaitu huruf /e/, contoh homograf yang ada dalam bahasa Indonesia tidak banyak. Kata teras /#/ /teras/ yang maknanya ‘inti’ dan kata /teras/ yang maknanya bagian depan rumah; kata memerah /memerah/ yang berarti ‘melakukan perah’ dan kata memerah /memerah/ yang berarti ‘menjadi merah’.

5. Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan dengan satuan ujarann lainnya (Chaer,1994 : 297).Contoh: Kata buruk dan jelek, mati dan wafat, bunga dan kembang.

6. Antonim
Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara satu dengan yang lain (Chaer, 1994 : 305). Contoh: Kata bagus berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan kata kecil.

7. Hiponim
Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam maknanya bentuk ujaran yang lain (Chaer, 1994 : 305).

8. Ketaksaan
Menurut Chaer (1994 : 307) ketaksaan adalah gejala yang menunjukkan terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat diuraikan secara akurat.

9. Kemubaziran (Redundansi)
Menurut Chaer (1994 : 310) istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihan penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Ciri semantic ini dapat menandai makna kalimat dalam bahasa minangkabau. Makna kalimat yang mubajir mengandung makna berlebihan atau lebih dari yang diperlukan.

H. Perubahan Makna
Pertumbuhan atau perkembangan bahasa, makna suatu kata dapat mengalami perubahan-perubahan. Perubahan makna itu dapat dilihatkan dari bermacam-macam sudut. Di antara bermacam-macam peristiwa perubahan makna itu Keraf (1980 : 130-131) adalah :
1. Meluas adalah cakupan makna sekarang lebih luas dari pada makna yang dulu. Contoh kata bapak, ibu, saudara, dahulu digunakan untuk menyebut orang yang bertalian darah dengan kita. Tetapi sekarang kata bapak, ibu, saudara telah meluas maknanya.
2. Menyempit adalah cakupan makna dulu lebih luas dari pada makna sekarang.
3. Amelioratif adalah suatu proses perubahan makna, baru dirasakan lebih tinggi atau lebih baik nilainya dari makna dulu.
4. Peyoratif (kebalikan dari amelioratif) adalah suatu proses perubahan makna, makna baru dirasakan lebih rendah nilainya dari makna yang dulu. Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia kata bini dianggap baik pada zaman dulu, tetapi sekarang dirasakan kurang baik. Yang lebih baik adalah kata wanita sehingga ada kata wanita sarjana.
5. Sinestesia adalah perubahan makna akibat pertukaran tanggapan antara dua indera yang berlainan. Contoh katanya pedas,pedas sebenarnya tanggapan indera perasa. Suara sedap didengar, sedap sebenarnya tanggapan indra perasa. Pidatonya hambar, hambar juga sebenarnya merupakan kata yang dipakai untuk indera perasa.
6. Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena persamaan sifat. Catut, alat untuk mencabut paku, kemudian berdasarkan persamaan sifat ini dipakai untuk orang yang menjual barang-barang dengan harga tinggi. Menurut (Chaer, 1994 : 313) asosiasi adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain, yang berkenaan dengan bentuk itu, sehingga dengan demikian bila disebutkan ujaran itu maka yang dimaksud adalah suatu yang lain berkenaan dengan ujaran itu.

I. Sejarah Penggunaan Bahasa Gaul
Bahasa gaul sendiri sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980-an tetapi pada waktu itu istilah bahasa prokem (okem). Lalu bahasa tersebut diadopsi kemudian dimodifikasi sedemikian unik dan digunakan oleh orang-orang tertentu atau kalangan-kalangan tertentu saja. Pada awalnya bahasa prokem digunaakan oleh para preman yang kehidupanya dekat dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras. Banyak istilah-istilah baru yang mereka ciptakan dengan tujuan agar masyarakat awam atau orang luar komunitas mereka tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan atau yang telah mereka bicarakan. Mereka merancang kata-kata baru, mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran Pergaulan di kalang waria mengenal apa yang disebut dengan budaya teman sebaya (peer culture). Kelompok waria yang sebaya itu umumnya mempunyai nilai serta karakteristik budaya yang bebeda atau bahkan bertentangan dengan budaya orang lain. Dalam upayanya memisahkan diri dari budaya lingkungan sekitar, mereka membuat budaya tandingan, budaya yang khas waria (Alatas, 2006:59). Budaya khas waria ini kemudian menciptakan sebuah bahasa yang biasa digunakan oleh kaum waria untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa tersebut kemudian disebut dengan bahasa gaul, sesuai dengan pengertian awalnya yakni bahasa yang digunakan untuk berteman dan bersahabat di tengah masyarakat (KBBI,2008:296). Di kalangan waria sendiri kata ‘gaul’ ini memiliki prestise atau penilaian yang tinggi. Seseorang waria akan dikatakan gaul apabila ia memiliki sifat yang menarik, dan pergaulan yang luas. Jadi, seorang waria pasti akan merasa bangga apabila predikat ‘anak gaul’ dilekatkan padanya.
Menurut Wikipedia Indonesia “Bahasa gaul merupakan bentuk ragam bahasa yang digunakan oleh penutur remaja, waria untuk mengekspresikan gagasan dan emosinya.” Perkembangan teknologi informasi turut mendistribusikan penggunaan bahasa gaul ke lingkup yang lebih luas. Media komunikasi, khususnya yang membahas mengenai waria, dalam mengkomunikasikan informasi juga menggunakan bahasa gaul yang sedang menjadi trend atau populer di kalangan remaja sampai waria. Dewasa ini, bahasa gaul mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa gaul. Dalam konteks modern, bahasa gaul merupakan dialek bahasa Indonesia non-formal yang terutama digunakan sebagai bentuk percakapan seharihari dalam pergaulan dilingkungan sosial bahkan dalam media-media populer seperti tv, radio, dunia perfilman nasional, dan sering pula digunakan dalam bentuk publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja, selebritis hingga waria oleh majalah-majalah populer.
Sebuah artikel di Kompas yang ditulis Sahertian berjudul So What Gitu Loch..... (2006:15) menyatakan bahwa bahasa gaul atau bahasa prokem sebenarnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah- istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Oleh karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari. Kosakata bahasa gaul yang belakangan ini berkembang sering tidak beraturan dan cenderung tidak terumuskan. Bahkan tidak dapat diprediksi bahasa apakah yang berikutnya akan menjadi bahasa gaul.
Pada mulanya pembentukan bahasa slang, prokem, cant, argot, jargon, dan colloquial di dunia ini adalah berawal dari sebuah komunitas atau kelompok social tertentu yang berada di kelas atau golongan bawah (Alwasilah, 2006:29). Lambat laun oleh masyarakat akhirnya bahasa tersebut digunakan untuk komunikasi seharihari.
Kecenderungan masyarakat ataupun para pelajar menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari- hari semakin tinggi, dan lebih parah makin berkembangnya bahasa slank atau bahasa gaul yang mencampur adukkan bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Saat ini bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum. Bahasa gaul sering digunakan sebagai bentuk percakapan sehari- hari dalam pergaulan di lingkungan sosial bahkan dalam media populer separti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan digunakan sebagai publikasi yang ditujukan untuk kalangan waria, remaja oleh majalah- majalah remaja populer. Maka sebab itu, bahasa gaul dapat disimpulkan sebagai bahasa utama yang digunakan komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari- hari.
Seperti halnya bahasa lain, bahasa gaul juga mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut dapat berupa penambahan dan pengurangan kosakata. Tidak sedikit kata-kata yang akan menjadi kuno (usang) yang disebabkan oleh perkembangan zaman. Setiap generasi akan memiliki ciri tersendiri sebagai identitas yang membedakan dari kelompok lain. Dalam hal ini, bahasalah sebagai representatifnya. Dari segi fungsinya, bahasa gaul memiliki persamaan antara slang, dan prokem. Kosa kata bahasa remaja banyak diwarnai oleh bahasa prokem, bahasa gaul, dan istilah yang pada tahun 1970-an banyak digunakan oleh para pengguna narkoba (narkotika, obat-obatan dan zat adiktif). Hampir semua istilah yang digunakan bahasa rahasia di antara mereka yang bertujuan untuk menghindari campur tangan orang lain. Bahasa gaul merupakan bentuk bahasa tidak resmi (Nyoman Riasa, 2006).
Waria adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek social transgenderisme. Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan biologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksualitas), maupun akibat pengondisian lingkungan pergaulan. Sebutan bencong juga dikenakan terhadap waria dan bersifat negatif.
Dalam sebuah milis (2006) disebutkan bahwa bahasa gaul memiliki sejarah sebelum penggunaannya populer seperti sekarang ini. Sebagai bahan teori, berikut adalah sejarah kata bahasa gaul tersebut:
1). Nih Yee...
Ucapan ini terkenal di tahun 1980-an, tepatnya November 1985. pertama kali yang mengucapkan kata tersebut adalah seorang pelawak bernama Diran. Selanjutnya dijadikan bahan lelucon oleh Euis Darliah dan popular hingga saat ini.
2) Memble dan Kece
Dalam milis tersebut dinyatakan bahwa kata memble dan kece merupakan kata-kata ciptaan khas Jaja Mihardja. Pada tahun 1986, muncul sebuah film berjudul Memble tapi Kece yang diperankan oleh Jaja Mihardja ditemani oleh Dorce Gamalama.
3) Bow....
Kata ini popular pada pertengahan awal 1990-an. Penutur pertama kata Bow…adalah grup GSP yang beranggotakan Hennyta Tarigan dan Rina Gunawan. Kemudian kata-kata dilanjutkan oleh Lenong Rumpi dan menjadi popular di lingkungan pergaulan kalangan artis. Salah seorang artis bernama Titi DJ kemudian disebut sebagai artis yang benar-benar mempopulerkan kata ini.
4) Nek...
Setelah kata Bow... popular, tak lama kemudian muncul kata-kata Nek... yang dipopulerkan anak-anak SMA di pertengahan 90-an. Kata Nek... pertama kali di ucapkan oleh Budi Hartadi seorang remaja di kawasan kebayoran yang tinggal bersama neneknya. Oleh karena itu, lelaki yang latah tersebut sering mengucapkan kata Nek...
5) Jayus
Pada akhir dekade 90-an dan awal abad 21, ucapan jayus sangat popular. Kata ini dapat berarti sebagai ‘lawakan yang tidak lucu’, atau ‘tingkah laku yang disengaja untuk menarik perhatian, tetapi justru membosankan’. Kelompok yang pertama kali mengucapkan kata ini adalah kelompok anak SMU yang bergaul di Kitaran Kemang. Asal mula kata ini dari Herman Setiabudhi. Dirinya dipanggil oleh temantemannya Jayus. Hal ini karena ayahnya bernama Jayus Kelana, seorang pelukis di kawasan Blok M. Herman atau Jayus selalu melakukan hal-hal yang aneh-aneh dengan maksud mencari perhatian, tetapi justru menjadikan bosan teman-temannya.
Salah satu temannya bernama Sonny Hassan atau Oni Acan sering memberi komentar jayus kepada Herman. Ucapan Oni Acan inilah yang kemudian diikuti temantemannya di daerah Sajam, Kemang lalu kemudian merambat populer di lingkungan anak-anak SMU sekitar.
6) Jaim
Ucapan jaim ini di populerkan oleh Bapak Drs. Sutoko Purwosasmito, seorang pejabat di sebuah departemen, yang selalu mengucapkan kepada anak buahnya untuk menjaga tingkah laku atau menjaga image.
7) Gitu Loh...(GL)
Kata GL pertama kali diucapin oleh Gina Natasha seorang remaja SMP di kawasan Kebayoran. Gina mempunyai seorang kakak bernama Ronny Baskara seorang pekerja event organizer. Sedangkan Ronny punya teman kantor bernama Siska Utami. Suatu hari Siska bertandang ke rumah Ronny. Ketika dia bertemu Gina, Siska bertanya dimana kakaknya, lantas Gina ngejawab di kamar, Gitu Loh. Esoknya si Siska di kantor ikut-ikutan latah dia ngucapin kata Gitu Loh...di tiap akhir pembicaraan.

J. Pembagian Bahasa Gaul
Semua kelompok sosial di dalam masyarakat mempunyai potensi untuk mempunyai bahasa dengan ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan kelompok lain. Dengan kata lain, setiap kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat memiliki variasi atau ragam bahasa tersendiri didasarkan atas perbedaan faktor-faktor sosial, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya. Pengujar bahasa gaul umumnya adalah para remaja, kaum selebritis dan waria. Seperti penjelasan yang telah dipaparkan oleh penulis sebelumnya bahwa penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya, penulis juga mencoba melanjutkan penelitian terhadap bahasa gaul dengan meneruskan penelitian yang telah dilakukan oleh Sondang Manik (2004) yang membagi bahasa gaul kedalam dua bagian, yakni bahasa gaul umum dan bahasa gaul khusus.
1. Bahasa Gaul Umum
Bahasa gaul umum adalah bahasa yang sering digunakan oleh muda-mudi, khususnya yang tinggal di daerah perkotaan untuk bertemu atau bersahabat di tengah masyatakat. Bahasa gaul umum banyak ditemukan pada sinetron-sinetron di TV, majalah-majalah dan tabloid remaja.

2. Bahasa Gaul Khusus
Variasi atau ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok orang akan dinilai baik apabila masyarakat memberikan penilaian yang tinggi atau baik terhadap para penuturnya. Nilai tinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap penutur itu memberikan prestise kepada ragam bahasanya, lebih dari ragam-ragam lain yang digunakan oleh golongan lain, begitu juga dengan bahasa gaul khusus yang pada awalnya merupakan bahasa rahasia antar sesama kaum waria. Penilaian masyarakat yang buruk terhadap kaum waria juga memberikan nilai buruk terhadap ragam bahasanya, hal inilah yang kemudian memacu penilaian bahwa setiap orang yang menggunakan bahasa kaum waria sama buruknya dengan komunitas penuturnya (Kaveriana, 1996:18) namun seiring dengan masuknya ragam bahasa waria ini ke dalam lingkungan selebritis yang di bawa oleh para waria yang hampir sebagian besar berprofesi sebagai penata rias artis.
Sedikit demi sedikit penilaian masyarakat berubah terhadap ragam bahasa waria tersebut. Anggapan masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan bahwa artis merupakan idola, pembawa trend, dan memiliki pergaulan yang luas membuat masyarakat, terutama masyarakat kalangan muda berlomba-lomba meniru apa saja yang dilakukan oleh artis pujaanya termasuk menggunakan bahasa yang mereka pakai dalam berkomunikasi agar mereka juga dikatakan sebagai anak gaul dan tidak ketinggalan zaman. Hal inilah yang kemudian memicu bergantinya nama ragam bahasa rahasia di kalangan waria tersebut menjadi bahasa gaul.
Bahasa gaul khusus tidak memliki sistem yang teratur dalam penciptaan katakatanya, hanya saja pola dasar kalimatnya sama dengan bahasa gaul umum karena sama-sama digunakan dalam siuasi non formal. Bahasa gaul khusus dapat dikategorikan sebagai bahasa rahasia, karena hanya digunakan oleh sekelompok orang tertentu, terutama kaum waria untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa gaul khusus ini pasti akan berubah kerahasiannya apabila telah dimengerti dan dipakai oleh banyak orang secara umum dalam komunikasi sehari-hari.
Penggunaan bahasa gaul di kalangan muda yang semakin tinggi intensitasnya membuat istilah kosakata dalam bahasa gaul tersebut semakin bertambah dan perumusnya menjadi tidak tetap. Istilah-istilah yang unik tersebut kemudian diangkat oleh Debby Sahertian dan dibuat menjadi sebuah buku dengan judul Kamus Bahasa Gaul (Kamasutra Bahasa Gaul).

Buku Sumber
Alwasilah, A. Chaedar. 1986. Sosiologi bahasa. Bandung. Angkasa.
Chaer, A dan Leoni A. 2004.Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Fishman, Joshua A.1972. The Sosiology of Language. Massachussetts: Newbury House Publisher.
Hudson, R.A.1980. Sosiolinguistics. London: Cambridge University Press
Nababan, P.W.J. 1984. Sosioliguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.