Sampurasun,

Rumangsa Handarbeni, Melu Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa Wani

Sabtu, 31 Desember 2011

PEMBELAJARAN BAHASA LISAN DI SEKOLAH DASAR

1. Pengertian Bahasa Lisan
Ada dua ragam komunikasi yang digunakan manusia dalam aktivitas kegiatan berbahasa sebagaimana yang diungkapkan Moeliono (Ed), bahwa ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan dan ragam tulisan (1988:6). Penggunaan ragam bahasa lisan memiliki keuntungan, yaitu karena hadirnya peserta bicara sehingga apa yang mungkin tidak jelas dalam pembicaraan dapat dibantu dengan keadaan atau dapat langsung ditanyakan kepada pembicara.
Berkaitan dengan ini, Pateda (1987: 63) menyebutkan bahwa ada empat alasan mengapa bahasa lisan itu penting dalam komunikasi, yaitu :
(1) faktor kejelasan, karena pembicara menambahkan unsur lain berupa tekan dan gerak anggota badan agar pendengar mengerti apa yang dikatakannya, (2) faktor kecepatan, pembicara segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakan, (3) dapat disesuaikan dengan situasi, artinya meskipun gelap orang masih bisa berkomunikasi, dan (4) faktor efisiensi, karena dengan bahasa lisan banyak yang dapat diungkapkan dalam waktu yang relatif singkat dan tenaga yang sedikit. Sebaliknya, berbeda halnya dengan penggunaan ragam bahasa tulisan.
Apa yang tidak jelas dalam bahasa tulisan tidak dapat ditolong oleh situasi seperti bahasa lisan. Dalam bahasa lisan, apabila terjadi kesalahan, pada saat itu pula dapat dikoreksi, sedangkan dalam bahasa tulisan diperlukan keseksamaan yang lebih besar. 
Menurut Badudu, bahasa lisan lebih bebas bentuknya daripada bahasa tulisan karena faktor situasi yang memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur, sedangkan dalam bahasa tulisan, situasi harus dinyatakan dengan kalimat-kalimat Badudu (1985: 6). Di samping itu, bahasa lisan yang digunakan dalam tuturan dibantu pengertiannya, jika bahasa tutur itu kurang jelas oleh situasi, oleh gerak-gerak pembicara, dan oleh mimiknya. Dalam bahasa tulisan, alat atau sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan itu tidak ada.
Dalam penggunaan bahasa lisan, meskipun kalimat yang diucapkan oleh seorang pembicara tidak lengkap, kita dapat menangkap maknanya dengan melihat lagu kalimat dan gerak-gerik kinesik lainnya. Dalam hal ini Uhlenbeck (dalam Teeuw, 1984: 27) menjelaskan bahwa keberhasilan komunikasi tidak tergantung pada efek sarana-sarana lingual saja, pemahaman pemakaian bahasa lisan adalah hasil permainan bersama yang subtil dari data pengetahuan lingual dan ekstralingual, dari informasi auditif, visual, dan kognitif.
Gambaran karakteristik bahasa lisan sebagaimana telah diungkapkan oleh para ahli yang dimaksud yaitu:
a. Kalimat bahasa lisan banyak yang kurang terstruktur ketimbang bahasa tulisan, yaitu (a) bahasa lisan berisi beberapa kalimat tidak lengkap, bahkan sering urutan frasa-frasa sederhana, (b) bahasa lisan secara khusus memuat lebih sedikit kalimat subordinat, dan (c) dalam percakapan lisan, kalimat-kalimat pendek dapat diobservasi, dan biasanya berbentuk kalimat deklaratif aktif.
b. Dalam bahasa tulisan terdapat seperangkat penanda metabahasa untuk menandai hubungan antar klausa (bahwa, ketika), juga, seperti, di samping itu, biarpun, selain itu, yang disebut logical connector. Dalam bahasa lisan, penggunaan susunan kalimat dihubungkan oleh dan tetapi, lalu, serta agak jarang jika.
c. Kalimat bahasa tulisan secara umum berstruktur Subjek–Predikat, sedangkan dalam bahasa lisan umumnya berstruktur topik komentar.
d. Dalam tuturan formal, peristiwa konstruksi pasif relatif jarang terjadi.
e. Dalam obrolan akrab, penutur dapat mempercayakan petunjuk pandangan untuk membantu suatu acuan.
f. Penutur dapat menjaring ekspresi lawan bicara.
g. Penutur sering mengulangi beberapa bentuk kalimat.
h. Penutur sering menghasilkan sejumlah pengisi (filter), misalkan, baiklah, saya pikir, engkau tahu, tentu, juga (Brown dalam Yule, 1983: 12).

2. Penggunaan Bahasa Ragam Lisan
Berbicara tentang penggunaan bahasa, tentunya tidak terlepas dari penutur-penutur bahasa itu atau orang yang menggunakan bahasa dalam kehidupan bermasyarakat. Penutur-penutur bahasa itu dalam proses sosialisasinya dapat berfungsi sebagai pembicara, penulis, pembaca, atau penyimak. Penyimak dan pembaca dalam hal proses berbahasa berfungsi sebagai penerima, sedangkan pembicara dan penulis berfungsi sebagai orang yang memproduksi bahasa.
Komunikasi antara pembicara dan pendengar atau penulis dengan pembaca dapat berjalan lancar, apabila di antara kedua belah pihak terdapat dalam masyarakat bahasa yang sama. Dengan demikian, setiap bahasa memiliki seperangkat sistem, yaitu sistem bunyi bahasa, sistem gramatikal, tata makna, dan kosa kata. Perangkat sistem ini ada dalam benak penutur. Saussure memberinya istilah dengan langue, yaitu totalitas dari sekumpulan fakta satu bahasa. Istilah kompetensi diartikan sebagai “… the speaker hearers knowledge of his language …” (Aiwasilah, 1985: 4). Langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu, sama bagi semuanya dan berbeda di luar kemauan penyampainya. Langue adalah suatu sistem yang memiliki susunan sendiri. Langue merupakan norma dari segala pengungkapan bahasa. Berbeda halnya dengan penggunaan bahasa, karena penggunaan bahasa bersifat heterogen. Konsep penggunaan bahasa itu didasari teori Sassure, yaitu diistilahkan dengan parole. Parole adalah bahasa sebagaimana ia dipakai karena itu sangat bergantung pada faktor-faktor linguistik ekstern (dalam Rahayu, 1988: 88).
Setiap penutur dapat dikatakan terampil berbahasa apabila ia memiliki kompetensi atau langue dari bahasa yang dikuasainya. Keterampilan berbahasa pada umumnya jarang dikuasai penutur dengan sama baiknya. Ada penutur yang terampil berbicara, tetapi kurang terampil menulis dan begitu pula halnya dengan keterampilan yang lainnya. Namun, dengan pemakaiannya keterampilan penutur dalam menggunakan bahasa sesuai dengan sistem-sistem di atas, belumlah dapat dikatakan mampu berbahasa dengan baik.
Rusyana (1984: 104) menjelaskan bahwa berbahasa dengan baik berarti bukan saja dapat menguasai struktur bahasa dengan baik, tetapi juga dapat memakainya secara serasi, sesuai pokok permasalahan, tokoh bicara, dan suasana pembicaraan. Untuk itu, setiap penutur harus menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan situasi dan fungsinya.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah bahwa bahasa itu terdiri dari berbagai ragam, ada yang berhubungan dengan pemakaian bahasa, ada pula yang berhubungan dengan pemakaiannya. Dalam hal ini Fishman (1972 : 149) membedakan variasi bahasa tersebut menurut penuturnya, yang disebut dengan dialek, dan variasi bahasa menurut penggunaannya disebut dengan istilah register.
Bahasa yang digunakan oleh seseorang akan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang lain. Kevariasian bahasa itu dipengaruhi oleh siapa yang berbicara, lawan bicara, situasi, topik pembicaraan, dan sebagainya. Del Hymas merinci faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi delapan faktor. Kedelapan faktor itu adalah
(1) setting and scence, yang mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi, (2) participant, yang mengacu kepada peserta komunikasi yang terdiri atas pembicara/pengirim, pendengar/penerima, (3) ends (pupose and goals), yang mengacu kepada tujuan dan hasil atau harapan mengadakan komunikasi, (4) actsequence, yang mengacu kepada bentuk dan isi pesan komunikasi, (5) key, yang mengacu kepada gaya, ragam bahasa yang digunakan dalam komunikasi, (6) instrumentalities, yang mengacu kepada sarana atau perantara yang digunakan dalam komunikasi dan bentuk tuturan, bahasa, dialek, (7) norms, yang mengacu kepada norma perilaku dalam berinteraksi, interpretasi komunikasi, dan (8) genres, yang mengacu kepada bentuk dan jenis bahasa yang digunakan dalam komunikasi, misalnya cerita, prosa puisi (Hymes dalam Bell, 1976: 81).
Untuk mengetahui ragam bahasa apa yang dipakai oleh seseorang kita dapat mengenalnya melalui (1) pilihan kata atau leksis, (2) fonologi, (3) morfologi, (4) sintaksis, dan (5) intonasi (Badudu, 1991: 85). Sejalan dengan pendapat tersebut, Nababan (1984: 22) menjelaskan bahwa setiap bahasa memiliki banyak ragam, yang dipakai dalam keadaan atau keperluan/tujuan yang berbeda-beda. Ragam-ragam itu menunjukan perbedaan struktural dalam unsur-unsurnya. Perbedaan struktural ini berbentuk ucapan, intonasi, morfologi, identitas kata-kata, dan sintaksis.

3. Pelafalan
Masyarakat Indonesia terdiri dari beratus-ratus suku, dan masing-masing suku memiliki bahasa daerah. Bahasa daerah tersebut dipergunakan masyarakat sebagai sarana komunikasi antar suku, dan juga dipergunakan di lingkunagn keluarga. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau bahasa daerah tersebut sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat di Indonesia. Badudu (1985: 12) mengatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari pengaruh itu seratus persen.
Badudu menjelaskan bahwa yang sering sukar dihindari adalah pengaruh lafal bahasa daerah, karena lidah penutur yang sudah “terbentuk” sejak kecil oleh lafal bahasa daerahnya (1985: 12). Bila kita perhatikan lafal orang Tapanuli misalnya, kata-kata yang befonem /e/ akan dilafalkan dengan /é/. Kata-kata seperti mengapa, karena, kemana, diucapkan dengan menggunakan /é/. Atau orang Jawa, akhiran /kan/ akan diucapkan dengan /ken/. Demikian pula dengan suku Sunda, Bali, Aceh, bila berbicara akan diwarnai pengaruh bahasa daerahnya.
Bila seseorang dalam berbahasa lisan terdengar bahasa daerahnya, maka lafalnya tergolong lafal nonbaku. Bila seseorang dalam berbahasa Indonesia tidak terdengar lafal bahasa daerahnya, maka lafalnya digolongkan pada bahasa baku. Badudu menjelaskan, “Lafal bahasa Indonesia baku adalah lafal yang tidak memperdengarkan warna lafal bahasa dialek, juga tidak memperdengarkan warna lafal bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris atau Arab (1980: 115. Soemantri (1987: 11) mengatakan bahwa lafal bahasa Indonesia yang standar adalah tuturan bahasa Indonesia yang tidak terlalu menonjol ciri lafal daerahnya.

4. Struktur Bahasa Ragam Lisan Anak-anak Dwibahasawan di SD
Dalam wujudnya, bahasa yang kita gunakan terdiri dari unsur bunyi, bentuk morfologis, sintaksis dan semantik. Unsur-unsur bahasa itu tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terpisah-pisah. Dalam bahasa lisan, unsur-unsur tersebut terangkai dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat yang pertama pada dasarnya digunakan sebagai acuan munculnya kalimat yang kedua, kalimat kedua dapat memunculkan kalimat ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, memahami bahasa lisan seseorang dapat dilakukan, antara lain dengan cara menganalisis unsur-unsur bahasa dan aturan yang berlaku dalam bahasa itu.
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa struktur bahasa ragam lisan anak-anak pun dapat dianalisis melalui unsur-unsur bahasa yang dugunakannya.
Di samping itu, aturan-aturan yang berlaku juga dapat digunakan sebagai tolak ukur baku atau tidaknya penggunaan bahasa secara keseluruhan. Dari deskrifsi dan hasil analisis data, struktur bahasa ragam lisan anak-anak dwibahasawan masih dipengaruhi oleh bahasa ibu dan bahasa percakapan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan terjadinya peristiwa bahasa, seperti frekuensi penggunaan bahasa ibu yang dominan.
Anak-anak cenderung atau lebih sering menggunakan bahasa ibu daripada bahasa Indonesia ketika di rumah. Peristiwa itu terjadi karena faktor lingkungan (keluarga dan masyarakat) mendominasi terjadinya penggunaan bahasa daerah setempat. Efek dari peristiwa itu, maka penggunaan bahasa Indonesia di kelas pun diwarnai bahasa daerah. Dalam hal ini, ada beberapa hal, yang dapat dikemukakan berkenaan dengan peristiwa tersebut.
a. Upaya yang dilakukan guru pada saat proses belajar berlangsung adalah digunakan bahasa Indonesia yang baik ketika mengajar di kelas. Pada saat proses belajar berlangsung terjadi berbagai ungkapan pikiran dan perasaan melalui bahasa lisan. Dalam peristiwa itu terjadi penggunaan struktur bahasa lisan pada anak-anak. Karena pada umumnya siswa tergolong dwibahasawan, maka dalam peristiwa itu ragam bahasa lisan tidak bisa dielakkan. Meskipun demikian, secara umum anak-anak telah mampu menggunakan seperangkat penanda linguistik yang diperlukan dalam berbahasa lisan sehingga mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan orang lain. Keseluruhan sistem bahasa itu meliputi fonologi, morfologi, leksikal, semantik dan sintaksis.
b. Digunakannya ragam baku dan tidak baku dalam peristiwa komunikasi pada prinsipnya tidak mengganggu proses belajar mengajar di kelas. Hal ini disebabkab oleh penggunaan ragam baku yang lebih sering digunakan dari pada ragam tidak baku. Ragam tidak baku pada dasarnya digunakan anak-anak atas dasar pertimbangan situasi dan sosial. Situasi atau konteks peristiwa yang terjadi itu memang mengharapkan penggunaan ragam tidak baku oleh anak-anak. Misalnya, ketika meminjam buku, menyuruh, bertanya, dan marah dengan temannya yang sebahasa (bahasa ibu).
Pada dasarnya anak-anak usia sekolah dasar telah menguasai struktur bahasa secara sempurna. Pada usia ini anak-anak di samping udah matang organ-organ bicaranya, mereka juga mampu merespon pembicaraan orang lain. Kematangan anak-anak dapat diwujudkan secara verbal, seperti penggunaan bentuk-bentuk morfologi dalam kalimat-kalimat kompleks.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini pun menunjukan bahwa penggunaan bentuk-bentuk morfologi dalam kalimat anak-anak dwibahasawan secara struktur sudah baik. Hal ini terlihat pada kemapuan dalam penggunaan afiksasi, pemajemukan, dan pengulangan. Hanya terjadi beberapa kesalahan penggunaan afiksasi karena pengaruh bahasa daerah atau bahasa percakapan sehari-hari. Hal ini, antara lain dapat terlihat pada penghilangan awalan me- dalam kata manjat, metik, nembak, dan mbeli, yang seharusnya memanjat, memetik, menembak, dan membeli. Kesalahan juga terjadi pada kata ngambilin dan nunggu, seharusnya mengambil dan menunggu.
Di samping itu, terjadi juga beberapa kesalahan penggunaan pada kata ulang. Yang dimaksud adalah bintangnya-bintang dan mutar-mutar, seharusnya bintang-bintang dan berputar-putar. Salah satu hal yang paling sempurna adalah penggunaan pemajemukan. Artinya, tidak ditemukan kesalahan dalam penggunaan kata majemuk pada bahasa lisan anak-anak dwibahasawan.
Pilihan kata, kosakata atau istilah, dan penggunaannya dalam ujaran sangat mempengaruhi isi pembicaraan. Pilihan kata atau istilah yang tepat dan penggunaan kata yang baku dalam konteks pembicaraan akan mencerminkan kemampuan berbahasa. Artinya, makna atau isi pembicaraan akan terwakili secara jelas berdasarkan ketepatan dalam penggunaannya. Dalam hal ini, pilihan kata atau istilah yang digunakan anak-anak dwibahasawan secara umum dapat dikatakan baik bila diukur dengan konteks pembicaraan.
Berbagai pilihan dan penggunaan kata terkait langsung dengan topik pembicaraan, terarah, kontekstual, dan situasional. Di dalam konteks komunikasi formal, topik prmbicaraan yang telah ditentukan dapat dibahas bersama sesuai dengan pengalaman hidup sehari-hari. Keterkaitan itu terbukti oleh adanya saling dimengerti topik pembicaraan yang yang dibicarakan melalui berbagai pilihan atau penggunaan kata atau istilah.
Hanya ada beberapa pilihan kata yang menyimpang akibat pengaruh bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari. Pilihan dan penggunaan kata daerah digunakan anak-anak dwibahasawan karena kesulitan mencari padanannya. Hal ini terdapat pada kata daerah (Jawa), seperti pangnya, nyucuk, dan membandil (Indonesia=cabang pohon, mematuk makanan melalui paruh burung, dan melempar batu dengan ketapel). Selain itu, ada beberapa pilihan dan penggunaan kata yang disebabkan oleh bahasa pergaulan. Kata-kata itu, antara lain cuma, aja, nggak, dan duren (tidak baku), seharusnya hanya, saja, tidak dan durian (baku).
Penggunaan bahasa lisan banyak kelonggaran bila dibandingkan dengan bahasa tulisan. Akan tetapi, bukan berarti penggunaan dapat dilakukan seenaknya. Dalam menggunakan bahasa lisan perlu diperhatikan oleh setiap penutur mengenai situasi, lawan bicara dan masalah yang dikemukakan. Kaitan dengan penilaian ini, struktur kalimat dalam ujaran anak-anak dwibahasawan berupa (1) topik komentar, (2) kalimat deklaratif aktif lebih banyak daripada konstruksi pasif, dan (3) lepasnya unsur subjek, predikat, dan objek.
Sesuai dengan sifat dan penggunaannya, maka penggunaan bahasa lisan anak-anak lebih banyak berisi komentar. Hal ini terjadi karena topik yang harus disampaikan dalam proses komunikasi memerlukan penjelasan. Misalnya, anak-anak harus menjelaskan ‘pentingnya memelihara lingkungan’, ’menceritakan pengalaman pribadi’, dan ‘bagaimana cara belajar yang baik’. Rangkaian penjelasan itu secara kongkrit diungkapkan melalui kalimat-kalimat yang sesuai dan saling terkait.
Dalam wujudnya, kalimat yang digunakan anak-anak dwibahasawan terdiri dari beberapa kalimat deklaratif aktif, dalam hal ini konstruksi pasif jarang terjadi. Selanjutnya, struktur kalimat yang terjadi pada anak-anak dwibahasawan adalah lesapnya unsur subjek, predikat dan objek. Meskipun demikian, lesapnya unsur-unsur kalimat tersebut masih dapat dianggap wajar karena hal itu terjadi dalam konteks bahasa lisan atau hadirnya antara pembicara (komunikator) dan pendengar (komunikan). Kenyataan seperti ini juga dijelaskan oleh Rusyana (1984: 130), bahwa dalam penuturan lisan, pembicara dan pendengar ada dalam ruang dan waktu yang memberikan kemungkinan untuk berkontak secara langsung. Situasinya juga diketahui oleh kedua belah pihak. Andaikan ada yang tidak dipahami, dapat ditanyakan dan kemudian dijelaskan. Karena itu, walaupun ada yang jika dipandang dari kalimat-kalimat yang digunakan, tidak begitu jelas, ketidak jelasan itu mungkin sudah teratasi oleh pemahaman terhadap hubungan dalam peristiwa pembicaraan atau langsung dijelaskan oleh pembicara. Dengan demiklian, penyimpangan-penyimpangan struktur kalimat dan lesapnya unsur-unsur kalimat dalam ujaran anak-anak dwibahasawan disebabkan oleh sifat bahasa lisan itu sendiri. Dengan kata lain, penyimpangan-penyimpangan struktur bahasa lisan yang digunakan anak-anak dwibahasawan SD masih dalam batas kewajaran.
Berbagai uraian di atas pada dasarnya terjadi karena beberapa faktor. Faktor yang paling dominan karena pada umumnya masyarakat Indonesia, termasuk juga anak-anak sekolah dasar tergolong masyarakat dwibahasawan. Sebagai masyarakat dwibahasawan tentunya mereka mampu menggunakan lebih dari satu bahasa. Keadaan seperti ini tentu akan mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia mereka dalam komunikasi sehari-hari, baik dalam tataran formal ataupun nonformal.
Kedwibahasaan seseorang di dalam masyarakat pada dasarnya dapat dilihat dari kemampuannya menggunakan dua bahasa atau lebih. Sebelum seseorang menguasai dua bahasa atau lebih, yang pertama kali mempengaruhi mendasari bahasa seseorang umumnya adalah bahasa ibu. Bahasa ibu, yang merupakan bahasa pertama biasanya diperoleh dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. Kecenderungan pemakaian bahasa ibu atau bahasa pertama sangat tergantung pada bahasa yang paling dominan dipergunakan di tengah-tengah masyarakat. Terutama di daerah-daerah pedesaan, biasanya yang dominan adalah bahasa ibu daerah. Dalam rentang waktu selanjutnya, sesuai dengan usianya kemudian seseorang akan mempelajari bahasa kedua. Bagi anak-anak, hal ini akan dialami apabila anak-anak mulai masuk sekolah. Dari perjalanan waktu dan usia sekolah itulah, maka akan diperoleh dan dikuasai bahasa kedua, sehingga mereka dapat menguasai lebih dari satu bahasa.
Sebagian besar masyarakat, termasuk anak-anak sekolah dasar kebanyakan berbahasa ibu bahasa daerah. Meskipun anak-anak telah memasuki sekolah, karena sebagian besar masyarakat menggunakan bahasa daerah, maka pemakaian bahasa daerahlah yang cenderung dominan dalam berkomunikasi. Hal ini terbukti karena bahasa daerah lebih sering digunakan bila dibandingkan dengan bahasa yang lain, misalnya bahasa Indonesia. Dengan demikian, kita tidak heran bila kalau bahasa daerah atau bahasa percakapan akan mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia penuturnya.

5. Ragam Bahasa Lisan yang Digunakan Anak-anak Dwibahasawan di SD
Pada bagian terdahulu telah diuraikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lisan dalam situasi formal atau resmi hendaknya digunakan ragam bahasa baku. Demikian juga, dalam proses belajar mengajar di kelas, karena dituntut penggunaan bahasa yang cermat terutama terkait dengan keperluan keilmuan, maka hendaknya menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Namun, tidak dapat disangkal bahwa seseorang (dwibahasawan) akan mengalihkan atau mencampurkan bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan pada saat komunikasi sedang berlangsung. Hal ini dapat terjadi karena berbagai alasan. Alasan-alasan itu, antara lain agar pembicaraan dapat berlangsung komunikatif, untuk menunjukan status sosialnya, dan kesulitan mencari padanan kata. Senada dengan hal ini, Grosjean (1982: 149) menjelaskan, bahwa kegiatan beralih bahasa (kode) terjadi manakala dwibahasawan kekurangan fasilitas pada suatu bahasa pada saat dwibahasawan itu mengemukakan suatu topik. Alih kode juga terjadi sewaktu dwibahasawan menemukan kata yang sulit diungkapkannya tidak ada padanan yang tepat. Selanjutnya alih kode sering terjadi ketika dwibahasawan sedang dalam keadaan lelah, atau sedang marah.
Berdasarkan deskripsi dan hasil analisis data ditemukan pergantian bahasa dalam ujian lisan anak-anak dwibahasawan ketika berinteraksi atau mengikuti pelajaran di kelas, yaitu pergantian penggunaan ragam baku keragam tidak baku atau sebaliknya. Pergantian ragam baku ke ragam tidak baku terjadi apabila interaksi terjadi antar anak-anak atau antara anak dan guru yang sebahasa ibu. Adapun faktor lain yang menyebabkan timbulnya peralihan bahasa (kode) tersebut disebabkan oleh kesulitan mencari padanan kata dan faktor situasi yang melingkupinya. Faktor-faktor situasional ini terjadi pada anak-anak dwibahasawan, khususnya ketika proses belajar-mengajar berlangsung, sementara mereka mengalami berbagai kendala. Wujud kendala itu adalah berupa kesulitan-kesulitan tertentu, seperti pada saat merespon atau memahami materi pelajaran. Di samping itu, situasi kelas yang ramai, ribut, penat dan panas (jam pelajaran terakhir), maka mereka beralih bahasa (kode) ketika menyampaikan ujarannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Suwito (1983: 149), bahwa ada kalanya terjadi kesenjangan penutur dengan situasinya. Pemakaian bahasa yang demikian biasanya tidak disadari dimaksudkan untuk mengubah situasi tertentu menjadi yang lain. Oleh karena itu, wajarlah apabila dalam ujaran anak-anak dwibahasawan SD terdapat ragam tidak baku ketika mengungkapkan kembali isi/materi pelajaran di kelas.

6. Fungsi Bahasa yang Digunakan Anak-anak Dwibahasawan SD
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini berbagai penjelasan mengenai fungsi bahasa telah dapat dikemukakan para ahli bahasa. Bebereapa pakar memberikan penjelasan mengenai fungsi bahasa dilihat dari cara pandang masing-masing. Akan tetapi, penjelasan mengenai fungsi bahasa tersebut secara keseluruhan memiliki banyak persamaan.
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, secara konstekstual bahasa yang digunakan anak-anak dwibahasawan berfungsi (1) sebagai alat untuk berinteraksi atau interaksional, (2) merupakan alat untuk diri atau personal, (3) alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan atau heuristik, dan (4) untuk menyatakan imajinasi dan khayal. Selanjutnya, dilihat dari struktur kalimatnya penggunaan bahasa lisan anak-anak dwibahasawan berfungsi (1) untuk menyatakan perasaan atau ekspresi, (2) bertanya, meminta suatu pendapat, tanggapan atau jawaban, (3) untuk menjelaskan informasi atau materi pelajaran, dan (4) memberi atau membuat contoh.
Fungsi untuk menyatakan perasaan atau ekspresi dalam ujaran anak-anak dwibahasawan, antara lain ditandai oleh adanya rasa gembira, senang, kagum, atau kecewa. Ungkapan ini dapat tergambar pada kalimat (a) Aku sangat senang pergi bersama-sama keluarga, (b) Aduh, senagnya pengalaman waktu libur, dan (c) Pada saat aku mengamati gambar tugu monas aku heran melihat bangunan yang amat tinggi.
Fungsi untuk menjelaskan informasi atau materi pelajaran ini terkait secara kontekstual. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat tergambar pada kalimat (a) Paman Mus pergi bertransmigrasi karena Gunung Galunggung meletus. Sekarang masa depan Paman dan keluarganya terjamin, (b) Rumah Wangi terbakar karena ledakan kompor tetangganya, dan (c) Keamanan di Desa Pak Thomas sangat terganggu. Ayam di kandang hilang tanpa suara. Begitu pila kambing dan ternak lainnya. Akhir-akhir ini malingnya berani mencongkel jendela rumah Pak Lurah. Untung cepat diketahui, tapi maling itu melarikan diri. Berkaitan dengan fungsi ‘untuk menjelaskan informasi atau materi pelajaran’, fungsi ‘memberi atau membuat contoh’ pun berkaitan dengan topik dan situasi pembicaraan. Fungsi tersebut dapat digambarkan melalui kalimat (a) Ada anjungan dari berbagai daerah di Indonesia, Pak, (b) Kita mengadakan upacara di sekolah, di desa, di kecamatan, (c) Saya Pak, ada Burung Pipit, Kutilang, Bangau, dan (d) Saya Pak, perlombaan panjat pinang, lari karung, tarik tambang, baca puisi.
Fungsi ‘bertanya, meminta suatu pendapat, tanggapan, atau jawaban’ juga terjadi karena terikat oleh konteks pembicaraan. Pembicaraan tersebut berlangsung di kelas, ketika proses belajar-mengajar berlangsung antara murid dan guru. Hal ini dapat dilihat pada contoh-contoh kalimat (1) Judulnya liburan, Pak?, (2) Judulnya apa, Pak?, (3) Pahlawan juga, ya, Pak?, (4) Judulnya Ronda Malam, ya Bu?, (5) Di buku halaman berapa, Pak?, dan (6) Yang mana, Bu?…
Melihat kontek ujaran anak-anak dwibahasawan di atas, pada dasarnya masih terkait dengan fungsi-fungsi yang lain. Hal ini disebabkan oleh faktor materi pelajaran yang disampaikan di sekolah. Materi pelajaran bahasa Indonesia yang disajikan kepada murid pada umumnya berhubungan dengan masalah sosial, kebudayaan, ekonomi, pertanian, dan alam sekitar. Untuk itu, fungsi lain yang berkaitan, antara lain bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa dan kebudayaan ini mengemban fungsi kebudayaan. Fungsi kebudayaan itu mencakup fungsi bahasa sebagai (1) sarana pengembangan kebudayaan, (2) jalur penerus kebudayaan, dan (3) inventaris ciri-ciri kebudayaan. Dalam konteks itu, bahasa merupakan unsur kebudayaan yang memungkinkan pengembangan dan perkembangan kebudayaan.
Apabila dikaitkan dengan pengajaran bahasa Indonesia, tampak jelas bahwa pengajaran bahasa Indonesia itu dimaksudkan untuk membuat anak didik mampu mengintegrasikan diri dalam masyarakat Indonesia. Dengan berbahasa Indonesia diharapkan anak didik menjadi bagian utuh dari bangsa Indonesia. Sekaitan dengan itu, bahasa Indonesia adalah bahasa yang membuka jalan bagi kita menjadi anggota yang seutuhnya dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu sangat penting bagi lembaga pendidikan di sekolah dasar untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia kepada anak-anak.

7. Pembelajaran Bahasa Lisan
a. Teknik Pengajaran Berbicara
Keterampilan berbicara menunjang pula keterampilan menulis sebab pada hakikatnya antara berbicara dan menulis terdapat kesamaan dan perbedaan. Dua-duanya bersifat produktif. Keduanya berfungsi sebagai penyampai, penyebar informasi. Bedanya terletak dalam media. Bila berbicara menggunakan media bahasa lisan maka menulis menggunakan bahasa tulisan. Namun keterampilan menggunakan bahasa lisan akan menunjang keterampilan bahasa tulis. Begitu juga kemampuan menggunakan bahasa dalam berbicara jelas pula bermanfaat dalam memahami bacaan. Apalagi dalam cara mengorganisasikan isi pembicaraan hampir sama dengan cara mengorganisasikan isi bacaan. Keterampilan berbicara bersifat mekanistis. Semakin sering dilatihkan semakin lancar orang berbicara. Pembinaan dan pengembangan keterampilan berbicara harus melalui pengajaran berbahasa. Hal ini dapat berlangsung di dalam dan di luar sekolah.
Pembinaan dan pengembangan keterampilan berbicara siswa di sekolah menjadi tanggung jawab guru-guru bahasa Indonesia. Mereka harus dapat menciptakan suasana dan kesempatan belajar berbicara bagi siswa-siswa. Mereka harus sabar dan tekun memotivasi dan melatih siswa berbicara. Karena itu guru bahasa Indonesia harus mengenal, mengetahui, menghayati, dan dapat menerapkan berbagai teknik, teknik atau cara mengajarkan keterampilan berbicara, sehingga pengajaran berbicara menarik, merangsang, bervariasi, dan menimbulkan minat belajar berbicara bagi siswa. Teknik pengajaran berbicara yang dapat diterapkan untuk pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar.
1) Teknik Ulang – Ucap
Teknik ulang-ucap sangat baik digunakan dalam melatih siswa mengucapkan atau melafalkan bunyi bahasa kata, kelompok kata, kalimat, ungkapan, peribahasa, semboyan, kata-kata mutiara, paragraf, dan puisi yang pendek. Pada kelas-kelas rendah teknik ini biasa digunakan dalam melatih siswa mengucapkan fonem kata-kata, dan kalimat-kalimat yang pendek. Model ucapan harus jelas, jernih, dan tepat. Guru bahasa harus dapat menjadi model yang akan ditiru oleh siswa. Model ucapan ini dapat berupa ucapan langsung atau lisan dan dapat pula berupa rekaman. Berikut ini disajikan beberapa contoh dalam bentuk kegiatan guru dan siswa pada pembelajaran berbicara di Sekolah Dasar.
2) Teknik Lihat – Ucap
Teknik lihat-ucap digunakan dalam merangsang siswa mengekspresikan hasil pengamatannya. Yang diamati dapat berbagai hal atau benda, gambar benda, atau duplikat benda. Pada kelas-kelas rendah benda yang diperlihatkan untuk diamati sebaiknya benda-benda yang dekat dengan kehidupan siswa. Lebih baik lagi bila benda itu nyata. Jadi bukan benda atau hal yang bersifat abstrak. Bila benda atau hal yang bersifat abstrak dapat diberikan pada kelas-kelas lanjutan.
3) Teknik Deskripsi
Deskripsi berarti menggambarkan, melukiskan, atau memerikan sesuatu secara verbal. Teknik deskripsi digunakan untuk melatih siswa berani berbicara atau mengekspresikan hasil pengamatannya terhadap sesuatu. Melalui deskripsi ini, pembicara menggambarkan sesuatu secara verbal kepada para pendengarnya.
4) Dramatisasi
Ada beberapa alasan yang melatar belakangi penggunaan strategi dramatisasi dalam pembelajaran bahasa lisan, yaitu sebagai berikut.
a) Dramatisasi memungkinkan dapat membangkitakan dorongan aktif siswa.
b) Dramatisasi memungkinkan dapat memberi peluang ekspresi yang kreatif dan melatih menggunakan bahasa lisan bagi siswa secara sempurna.
c) Melalui dialog memungkinkan siswa berinteraksi sosial dengan teman lain.
Berdasarkan alasan tersebut maka penulis berpendapat bahwa berbahasa lisan lebih tepat jika disampaikan dengan menggunakan strategi dramatisasi. Ada beberapa keuntungan dari penggunaan strategi ini :
a) Menyajikan materi pelajaran lebih menarik.
b) Melatih kemampuan berbicara, sehingga pada kelas lebih tinggi ketrampian mengeluarkan pendapat lebih tampak.
c) Mengembangkan sikap sosial dan saling menghargai.
d) Pencapaian tujuan pembelajaran lebih mudah.